Rabu, 24 Februari 2010

Peternakan Bukan Anak Tiri

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
25/07/09

Pemilihan presiden telah usai. Pengumuman hasil pilpres pun telah digelar. SBY masih bisa berlenggang di kursi presiden sedikitnya untuk lima tahun mendatang. Bagaimana kinerja SBY untuk periode mendatang? Masihkan menganaktirikan peternakan? Apakah harga susu, telur dan daging tetap murah di tingkat peternak, sedangkan harga pakan membumbung tinggi tak terkendali? Apakah eksistensi peternakan mulai dipandang sebelah mata oleh pemerintahan SBY?
Pada krisis moneter 1998 lalu. Peternakan menjadi tumpuan hidup bangsa. Ketika perusahaan-perusahaan malakukan PHK besar-besaran. Bidang tersebut menjadi jalan alternatif dalam menyambung hidup masyarakat. Mau tidak mau masyarakat kembali terjun ke dunia peternakan atau pertanian. Peternakan pun telah mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia. Menurut Bappenas jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2009 mencapai 29,99 juta jiwa. Berarti peternakan mampu mengurangi kemiskinan sebesar 8,47%.
Kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu pun juga tidak menyurutkan para peternak untuk beralih profesi. Ketidakpastian ekonomi dunia semenjak akhir pemerintahan presiden Bush tidak terlalu berpengaruh kepada mereka. Para peternak sebenarnya malah merasa terpojokkan oleh iklim politik pemerintahan Indonesia sendiri. Diantaranya pemerintah yang telah menghapus bea impor susu, akibatnya peternak lagi-lagi terkena imbasnya karena harga susu turun dari Rp 3.800,- menjadi Rp 3.400,-
Politik kepentingan sendiri (self political interest) yang terjadi dewasa ini telah mengorbankan peternak. Para pembuat kebijakan kurang peduli nasib peternak. Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) yang direncanakan tahun 2010 pun kelihatannya akan molor. Kurangnya perhatian pemerintah ditunjukkan oleh ketidakberpihakan pemerintah yang terus mengimpor daging dari Australia. Pada tahun 2008 saja pemerintah melakukan impor daging sapi hingga mencapai 1,5 juta ton.
Sebanarnya, peternakan rakyat akan segera bangkit ketika iklim politik dan perdagangan menjanjikan. Terbukti, peternakan yang dikelola oleh rakyat mampu bertahan dari berbagai masalah yang melilit negeri ini. Saat ini peternakan sapi rakyat menguasai 90% pembibitan (breeding) di Indonesia sedangkan 10% atau sisanya oleh pemerintah dan swasta. Hal ini berarti, peternakan rakyatlah yang masih tetap eksis.
Suntikan dana dari pemerintah mungkin akan lebih merangsang pertumbuhan peternakan. Melalui program Sarjana Membangun Desa (SMD) yang dicanangkan pemerintah mulai menggaung pada tahun 2009 ini. Hal tersebut seharusnya mampu menjadi tameng kekurangan dan keterpurukan bidang peternakan Indonesia. Namun dana yang dikucurkan oleh pemerintah tidak lebih dari satu persen APBN.
SMD ditaksir hanya mengucurkan dana 0,009% atau setara dengan 90 milyar dari total APBN 2009 yang lebih dari 1000 trilyun. Apabila rata-rata dari total 600 kelompok penerima hibah pada tahun 2009 menerima 150 juta untuk semua jenis ternak (sapi perah, sapi potong, ayam lokal, kambing dan domba, dan kelinci). Memang, untuk ternak besar seperti sapi dana yang di dapat mencapai 400 juta, sedangkan ternak kecil seperti ayam hanya pada kisaran 80-150 jutaan.
Kebijakan yang memihak peternakan akan segera menumbuhkan minat dan naluri peternak untuk segera bertindak. Kini pemerintah memang mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan peternakan. Namun menurut hemat penulis belum memihak bidang peternakan dan masih memperlakukan peternakan layaknya anak tiri. Sebab hanya sedikit dana yang dikucurkan untuk menumbuhkembangkan peternakan di Indonesia. Dan sangat berbeda dibandingkan sektor lain; pendidikan, pertahanan, dan infrastruktur.
Pelaksanaan program pun masih perlu dipertanyakan. Apakah benar-benar untuk kelompok peternak atau bagi segelintir orang yang mau mengambil keuntungan dari program ini. Sebab informasi yang penulis dengar dari panitia pelaksanaan SMD, dana yang dikucurkan langsung masuk ke rekening sarjana pemohon dan bukan ke rekening kelompok peternak.
Jawa Barat kekurangan daging sapi hingga mencapai 60% tahun 2008. Sedangkan kekurangan kebutuhan daging sapi nasional disuplai dari import pemerintah yang mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2008. Kapan lagi pemerintah memikirkan peternakan negeri sendiri? Kebijakan semacam itu akan memperkaya peternak negara lain. Sedangkan peternak negara sendiri semakin terpuruk karena sapi-sapi yang dipelihara kalah bersaing dengan sapi-sapi impor.
Penulis memerhatikan peternakan di pedesaan yang memelihara sapi-sapi lokal dan sapi-sapi impor. Sapi-sapi lokal cenderung tahan penyakit dan memiliki produktivitas yang tinggi dari segi reproduksinya. Sapi lokal (Peranakan Ongole/PO) dengan 1-2 kali inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik sudah mengalami bunting, sedangkan sapi impor hingga mencapai 4-6 kali baru mengalami bunting. Hal ini tampak pada sapi-sapi Limousin hasil impor. Kebuntingannya amatlah rendah. Kejadian tersebut semakin menekan peternak, selain harga pakan yang mahal.
Nasib sapi asli Indonesia tidak sebagus sapi-sapi impor. Sapi Bali merupakan salah satu ternak asli Indonesia. Notabene tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kini malah dilirik Malaysia. Sapi Bali merupakan plasma nutfah asli dari pulau Bali.
Jika tidak ditangani serius, tidak menutup kemungkinan bahwa kelak pengekspor sapi Bali terbesar adalah Malaysia dengan disertai hak paten sekaligus. Sebab, sapi tersebut memiliki banyak kelebihan diantaranya persentase karkas yang tinggi mencapai 57% dan kadar lemak dalam daging yang rendah (2-13%). Bandingkan dengan kadar lemak sapi Limousin yang bisa mencapai 22%.
Peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi pada peternak. Target swasembada daging tidak akan segera terwujud, apabila pengambil kebijakan masih terbuai dalam menciptakan produk murah, tetapi mematikan peternak. Peternak akan berpikir dua kali untuk memproduksi jika harga jual ternyata rendah. Pendidikan beternak akan merubah pemahaman (mind set) para peternak. Agar memelihara ternak yang memberikan keuntungan maksimal. Sebab, belum tentu ternak impor akan memberikan keuntungan maksimal, karena hewan tersebut masih perlu beradaptasi dengan lingkungan tropis laiknya Indonesia.
Memelihara ternak lokal berarti ikut mencintai produk dalam negeri. Cinta produk dalam negeri adalah harga mati. Agar bangsa ini segera bangkit dari tidur panjangnya, peternakan. Bangkitlah peternakan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar