Jumat, 26 November 2010

IbK cikal bakal Wirausahawan Baru

Oleh: Achmad Prafitdhin (27/11/2010)

Hari Jum’at 26 November 2010, penulis melakukan presentasi di DPPM Universitas Muhammadiyah Malang. Isi presentasi yang penulis utarakan bersama tim adalah “Usaha Penggemukan Ayam Kampung.” Sebenarnya presentasi itu adalah monitoring tahap akhir yang dilakukan pihak kampus. Setelah dipinjami dana untuk pengembangan bisnis dan kewirausahaan dan pendampingan selama 6 bulan, akhirnya penulis bersama tim disetujui untuk melanjutkan kegiatan usaha ayam kampung untuk program kontrak selama 6 bulan berikutnya.
Sebuah kebahagiaan yang luar biasa, bisa memperoleh kepercayaan dari pihak kampus. Dimana banyak pihak yang andil di kegiatan tersebut tetapi tidak lagi dipercaya karena program kerja tidak berjalan. Kegiatan IbK atau kependekan dari Ipteks bagi Kewirausahaan ini adalah program Dikti, Dirjen Tinggi Perguruan Tinggi untuk meminjamkan sejumlah dana bagi pengembangan kewirausahaan.
Dengan program ini diharapkan mampu mencetak pengusaha-pengusaha muda berpengalaman, bukan lagi wirausahawan karbitan yang gampang terombang-ambing oleh keadaan dan suasana hati. Pada tahap awal memang terkesan sangat berat, namun setelah waktu berjalan semua terasa mudah ran mengasyikkan.
Monitoring ini dilakukan oleh tim panitia Ibk Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Ir. Adi Sutanto MM dan Ir Ahmad Yani MP. Monitoring berjalan dengan lancar dengan berbagai saran-saran dan masukan untuk melanjutkan dan mengepush kegiatan usaha ayam kampung tersebut berkembang dengan baik sesuai harapan kampus. Usaha memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Usaha tidaklah seperti menjadi pegawai yang kerja atau tidak tetap dibayar. Usaha dan pengusaha setiap hari harus membaca beberapa kitab untuk mencari strategi.
Disitulah program magang dan pendampingan oleh UMM yang bekerjasama dengan Madani yang telah diakui di Indonesia karena produk-produknya yang organik. Pendampingan sangat diperlukan pada tahap awal usaha. Tanpa pendampingan oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti UMM, maka usaha akan sulit berkembang.
Program Ibk ini diharapkan menjadi benih bagi program pemerintah lainnya. Sllah satunya Sarjana Membangun Desa. Yang setiap tahunnya bisa mengucurkan dana 100-450 juta untuk pengembangan kewirausahaan di bidang peternakan Indonesia.
Maju terus peternakan, maju terus Indonesiaku, ciptakan makanan bergizi untuk masyarakat dan generasi penerus bangsa. Amin... Semoga

Kamis, 25 November 2010

Budidaya Ayam Kampung Pedaging, Berminat?

Oleh: Achmad Prafitdhin

A. RINGKASAN EKSEKUTIF
Budidaya ayam kampung sangatlah menjanjikan dengan melihat tingkat harga pasar yang tinggi dibandingkan dengan ayam ras broiler. Sebagai acuan, Di kawasan Blitar pada tahun yang 2009, harga ayam kampung hidup bobot 7-8 ons mencapai Rp 20.000,- Hampir sama dengan bobot karkas ayam broiler per satu kilogram (Trobos, 2009).
Acuan ini akan memberikan imbalan berupa keuntungan yang sangat menggiurkan yaitu sebesar Rp 1.879.000,- dalam jumlah pemeliharaan 400 ekor saja. Pemeliharaan yang relatif rendah yaitu 2 bulan dibandingkan dengan peternak lain yang bisa mencapai 3 bulan pemeliharaan dalam bobot yang sama.
Keunggulan produk dibandingkan dengan produk lainnya adalah umru pemeliharaan yang pendek menjadikan daging ayam kampung lebih empuk, pemberian ramuan herbal akan meningkatkan cita rasa khas ayam kampung, kadar lemak yang rendah, dan harga yang bersaing.

B. PELUANG DAN ANCAMAN
Pelaksanaan Praktek Usaha Peternakan dengan judul “Usaha Penggemukan Ayam Kampung” bertempat di RT 03 RW 01, Desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar dengan waktu usaha dimulai pada bulan September sampai dengan November 2010 dengan jumlah 400 ekor dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama dipelihara 200 ekor yang direncanakan datang pada tanggl 5 September dan tahap kedua yaitu 200 ekor yang direncanakan datang pada tanggal 5 Oktober 2010.
Perencanaan usaha ini memiliki ruang lingkup lokal, namun diharapkan nantinya bisa merambah antar pulau bahkan cita-cita dalam kelompok PUP ini bisa layak eksport. Namun, untuk target awal, produk ini memiliki skala lokal yaitu kawasan Blitar dan sekitarnya.
Kelompok memiliki sebuah gambaran bahwa produk yang dihasilkan yaitu memiliki kualifikasi antara lain, memiliki kadar lemak rendah, daging lebih empuk karena dipelihara dalam jangka waktu yang pendek yaitu 2 bulan pemeliharaan, kualitasa daging yang tidak diragukan lagi kehalalannya, dipelihara dengan penambahan ramuan herbal yang bisa menambah cita rasa daging ayam kampung.
Beberapa harapan bagi investor yaitu pemberian modal tambahan serta pendampingan selama kegiatan usaha. Sedangkan bagi mitra kerja, mampu melaksanakan perjanjian dengan sebaik-baiknya. Keuntungan yang menggiurkan dalam bisnis ini merupakan sebuah tawaran berharga bagi calon investor dan mitra kerja, selain itu beberapa hal yang telah tertulis pada paragraf sebelumnya.

C. PRODUK/JASA YANG DIBERIKAN/DIRENCANAKAN
Adapun produk yang direncanakan adalah budidaya ayam kampung hingga umur 2 bulan pemeliharaan. Maksud dan tujuan dalam pemeliharaan tersebut antara lain yaitu Praktek Usaha Peternakan ( PUP ) diselenggarakan dalam rangka untuk melatih mahasiswa agar mampu menerapkan /mengaplikasikan secara langsung seluruh Aspek yang terkait dalam sebuah usaha peternakan mulai dari aspek manajerial (perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi hingga pemasaran), aspek teknis dan aspek finansial.
Kelompok PUP ini lahir karena ingin menjawab sebuah tantangan yang memberikan tudingan bahwa “ayam kampung tidak layak dikembangkan karena tidak menguntungkan dan tidak bisa berkembang”. Demikianlah latar belakang dari kelompok PUP ini.
Keunggulan produk dibandingkan dengan produk lainnya adalah umru pemeliharaan yang pendek menjadikan daging ayam kampung lebih empuk, pemberian ramuan herbal akan meningkatkan cita rasa khas ayam kampung, kadar lemak yang rendah, dan harga yang bersaing.
Pemilihan budidaya ayam kampung sebagai kegiatan PUP dimaksudkan, ketersediaan kandang dan sarana prasarana kandang yang telah ada dan representatif semakin memperkuat tujuan dalam pengembangan usaha ayam kampung. Permintaan pasar yang tinggi dan seringkali kekurangan merupakan pendorong usaha dalam segi yang lain.
Target pemasaran yang direncanakan adalah kepada pedagang pengepul, rumah makan yang ada di kawasan Blitar dengan melakukan kerjasama dengan pemilik mesin pencabut bulu.

D. ANALISIS KONDISI PASAR
Pemilihan budidaya ayam kampung pedaging dengan alasan bahwa ayam kampung yang memiliki cita rasa dan segmentasi pasar yang jelas Bahkan, permintaan cenderung kekurangan. Hal itu menunjukkan bahwa ayam kampung layak untuk dijadikan komoditi lokal dengan nilai ekonomis yang tinggi (Poultry, 2008).
Ayam kampung banyak diusahakan oleh masyarakat pedesaan sebagai tabungan. Tetapi jenis unggas ini tidak terlalu banyak di pasaran. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi sangat tinggi. Satu kilo daging ayam kampung di Sumenep Madura per Agustus 2009 bisa mencapai Rp 50.000,- Memang demikian data ini tidak up to date. Namun hal itu sangatlah fantastis untuk sebuah usaha. Di kawasan Blitar pada tahun yang sama, harga ayam kampung hidup bobot 7-8 ons mencapai Rp 20.000,- Hampir sama dengan bobot karkas ayam broiler per satu kilogram (Trobos, 2009).
Selanjutnya menurut Trobos (2009), disamping ayam kampung memiliki harga jual daging yang tinggi, unggas ini tahan terhadap serangan penyakit. Daya hidup ayam kampung bisa mencapai 95-98% tanpa vaksinasi. Bandingkan dengan ayam broiler yang dalam kehidupannya, paling sedikit mengalami 3-4 kali vaksinasi. Ayam kampung sangatlah tahan dengan kondisi cuaca dan pakan yang kurang baik. Adaptasi terhadap lingkungan pada ayam kampung telah teruji. Mulai dari nenek moyang hingga kini, ayam kampung tetap ada meskipun dihantam oleh kasus flu burung sejak tahun 2005 silam.
Pengembangan ayam kampung yang banyak dipelihara masyarakat – meskipun belum secara intensif – sedikit banyak akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Masyarakat pun juga bisa ikut didorong untuk memajukan ayam kampung sebagai usaha yang menjanjikan dan bernilai ekonomis tinggi.
Kecenderungan konsumen yang mulai beralih pada hal organik bisa menjadi sebuah peluang dan celah dalam bisnis ayam kampung ini. Masyarakat kini lebih memilih kualitas dan citarasa dibandingkan kuantitas tanpa cita rasa tinggi. Dibandingkan dengan ayam ras, ayam kampung telah dikenal memiliki cita rasa khas dan kualitas tekstur daging yang berbeda. Sehingga masyarakat lebih meilih jenis ayam kampung dari pada ayam ras terlebih jika bisa memberikan harga yang sebanding.
Kompetitor terbuka yaitu ayam ras pedaging, sedangkan kompetitor tertutup yaitu daging-daging lain seperti bebek, puyuh, dan entok. Namun, dengan adanya kompetitor tersebut semakin membuat daya kreatifitas.
Budaya masyarakat Blitar khususnya dan Indonesia pada umumnya, sebelum ayam ras pedaging datang ke Indonesia, ayam kampung menjadi sebuah keunggulan dan kini mulai punah seiring dengan tidak lagi menjadi fokus pemeliharaan di lingkungan pertanian yang mulai beralih pada kambing dan sapi.
Teknologi yang digunakan yaitu dengan formulasi pakan dengan bekatul fermentasi, hal ini akan menurunkan biaya produksi, namun tidak akan mengurangi kualitas daging bahkan akan meningkatkan kualitasnya dengan adanya enzim pitase yang dihasilkan dalam proses fermentasi tersebut.

DAFTAR BACAAN

Abidin, Zainal. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Anonymous. 2008. Beternak Ayam Kampung.(http://www.ayamkampung.cc.id. htm.com). Diakses tanggal 12 Januari 2009

Anonymous. 2010. Petunjuk Praktis Beternak Ayam Kampung. (http://sinartani. com). Diakses tanggal 14 Agustus 2010

Fadilah, Roni dkk. 2007. Beternak Unggas Bebeas Flu Burung. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Malik, Abdul. 2001. Manajemen Ternak Unggas. Malang: Fakultas Peternakan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang.

Parakkasi. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak monogastrik. Bandung: Angkasa Bandung

Poultry. 2008. Telur Tetas Ayam Kampung Makin Sulit Dicari. (http://www.poultryindonesia.com). Diakses 10 Maret 2010.

Sobri, M 2006. Bahan Makanan Ternak dan Formulasi Ransum. Malang: Fakultas Peternakan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang.

Sarwono, B. 2005. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sitopoe, Mangku. 2008. Cara Memelihara Ayam Organik. Jakarta: PT Indeks.

Sujionohadi, Kliwon dan Ade Iwan Setiawan. 2004. Ayam Kampung Petelur: Perencanaan dan Pengelolaan Usaha Skala Rumah Tangga. Jakarta: Penebar Swadaya.

Survei kepada beberapa peternak di kawasan Kabupaten Blitar. Pada tanggal 12 dan 27 Agustus 2010.

Trobos. 2009. Budidaya Ayam Kampung, Untung. (http://www.trobos.com). Diakses 10 Maret 2010.

Wahju, Juju. 2004. Ilmu Nitrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wiharto, 1991. Biokimia Nutrisi. Yogyakarta: UGM Press.

Widodo, Wahyu. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Malang: Fakultas Peternakan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang.

Sabtu, 23 Oktober 2010

TAI CHI PENDERITAAN

Inti pengajarannya adalah memperlambat apa-apa yang kita kerjakan, menikmatinya dan mengamati perubahan yang terjadi atas diri kita.
Kesedihan, kemarahan, dan bahkan kesenangan pun akan menjadi lambat olehnya. Sehingga kita sangat menguasai tubuh kita secara baik dengan penuh kesadaran. Bahkan kebiasaan lama kita juga akan melambat dengan sendirinya.
Dari perlambatan itu akan menjadikan kita lebih menikmati apa-apa yang telah Tuhan berikan kepada kita pada saat ini dan akan melupakan apa-apa yang telah terjadi pada masa lalu dan tidak berimajinasi tentang masa mendatang secara keterlaluan.
Sebab pikiran atau imajinasi yang keterlaluan merupakan kebencian, sedangkan pikiran yang terlalu senang merupakan keserakahan yang kita lakukan. Dalam tubuh kita terdapat api yang mana api itu menjadikan kita menjadi seorang yang benci, serakah, dan tidak senang atas apa-apa yang diperoleh orang lain bahkan oleh kita sendiri.

Minggu, 15 Agustus 2010

Titik Kritis Industri Daging Beku Product Safety Pada Rumah Potong Hewan

Oleh: Achmad Prafitdhin

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).

Beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) dapat ditularkan melalui daging (meat-borne disease). Selain itu, daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan hormon, cemaran logam berat, pestisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga daging juga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia (potentially hazardous food/PHF). Agar daging tetap bermutu baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep tersebut dikenal sebagai safe from farm to table concepts.

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan).

Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.

Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.

Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Penyediaan Daging dan RPH di Indonesia
Penyediaan daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003) terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar 15,0% per tahun.

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.

Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner.

Sebaiknya persyaratan RPH yang diatur adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh suatu RPH, terutama yang berkaitan dengan aspek higiene dan sanitasi, mengingat RPH adalah suatu tahapan dalam mata rantai penyediaan daging yang memungkinkan munculnya risiko yang dapat membahayakan kesehatan konsumen dan atau menyebabkan penurunan mutu daging.

Kemudian pada tahun 1999 diterbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, yang memuat persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh RPH yang memenuhi ketentuan higiene dan sanitasi. Namun sayangnya SNI ini masih bersifat sukarela (voluntary).

Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional.

Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat perhatian.

Product Safety pada Rumah Pemotongan Hewan
Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH atau penerapan product safety di RPH.

Jaminan product safety pada RPH diterapkan melalui penerapan praktek higiene dan sanitasi atau dikenal sebagai praktek yang baik/higienis, good manufacturing practices (GMP) atau good hygienic practices (GHP). Penerapan GMP/GHP pada RPH disebut pula Good Slaughtering Practices (GSP). Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Selain itu, sistem product safety pada RPH di Indonesia sebaiknya mencakup aspek kehalalan dan kesejahteraan hewan, dalam rangka penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap daging.

Lokasi, disain, konstruksi, tata letak (lay out) dan fasilitas bangunan RPH mempengaruhi kondisi higiene dan sanitasi. Lokasi RPH perlu dipertimbangkan dengan seksama dan terencana, sehingga RPH dan proses penyembelihan tidak dicemari dan mencemari lingkungan sekitarnya.

Bangunan tempat proses penyembelihan RPH dibagi menjadi dua area terpisah, yaitu area kotor (mulai dari hewan masuk sampai pengeluaran jeroan/eviserasi) dan area kotor (setelah pengeluaran jeroan sampai karkas/daging didistribusikan). Bahan-bahan konstruksi RPH umumnya harus kuat, kedap air (tidak dari bahan kayu), mudah perawatan, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

Fasilitas utama yang dimiliki RPH antara lain sumber air, listrik, jalan, dan instalasi pengolah limbah. Air yang memenuhi persyaratan air bersih harus selalu tersedia di RPH, yaitu 1000 liter untuk setiap ekor sapi/kerbau per hari atau 45 liter untuk setiap ekor babi per hari. Intensitas cahaya pada ruang-ruang untuk pemeriksaan (inspeksi), khususnya pada tempat pemeriksaan kesehatan hewan (pemeriksaan antemortem) dan pemeriksaan daging (pemeriksaan postmortem) minimum 54 oC luks, sehingga pemeriksa dapat mendeteksi dan membedakan perubahan warna yang kecil pada hewan dan daging.

Seluruh peralatan yang digunakan untuk daging harus kuat, tidak mudah berkarat, tidak bereaksi dengan zat-zat yang terkandung dalam daging, mudah dirawat, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi. Peralatan yang memiliki sudut dan atau terbuat dari kayu tidak dapat digunakan untuk daging.

Proses penanganan hewan sebelum, sesaat dan setelah penyembelihan perlu memperhatikan aspek halal, higiene dan sanitasi, serta kesejahteraan hewan. Sebelum penyembelihan, hewan sebaiknya diistirahatkan minimum selama 12 jam dan dipuasakan (tetapi tetap diberikan minum). Kesehatan hewan harus diperiksa oleh dokter hewan atau tenaga paramedis yang dilatih dan di bawah pengawasan dokter hewan maksimum 24 jam sebelum penyembelihan. Hanya hewan yang sehat dapat disembelih.

Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) pada penanganan daging selanjutnya sangat perlu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari 4 oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah 4 oC untuk daging segar atau suhu –18 oC untuk daging beku.

Menurut Bolton et al. (2001) terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH, yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82 oC).

Dalam proses penyembelihan, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki dua pisau, pisau pertama digunakan dan pisau kedua direndam dalam air panas >82 oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak keluar dan mengenai daging.

Pemisahan sumsum tulang belakang perlu dilakukan secara hati-hati, karena sumsum tulang belakang dapat mengandung prion sebagai penyebab penyakit sapi gila (mad cow; Bovine Spongiform Encephalopathie/BSE) yang dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia. Selanjutnya pendinginan daging sangat perlu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem rantai dingin perlu diterapkan pada penyimpanan daging.

Hal utama mutlak dan sangat penting agar penerapan sistem product safety pada RPH adalah adanya komitmen dari manajemen dan seluruh sumberdaya manusia. Setelah itu komitmen dan keseriusan diterapkan pada perencanaan dan pelaksanaan sistem.

Untuk RPH di Indonesia, dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan sistem product safety atau sistem jaminan mutu dan keamanan daging, maka perlu penerapan sistem tersebut secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep “better practice” atau “best practice” perlu direncanakan dan diterapkan, yang artinya proses penyembelihan hewan di RPH menggunakan campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern.

Selain itu, peningkatan pengetahuan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian personal yang terlibat dalam proses penyembelihan hewan harus terus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengembalikan fungsi RPH sebagai unit pelayanan penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.
Simpulan
1. Untuk penyediaan daging yang ASUH dan perlindungan konsumen diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan pangan konsep “safe from farm to table” penerapan higiene dan sanitasi (GHP) sebagai persyaratan dasarnya.
2. Product safety pada RPH artinya penerapan higiene dan sanitasi (termasuk halal dan kesejahteraan hewan) yang mencakup dari penerimaan hewan sampai distribusi daging.
3. Higiene di RPH diterapkan pada bangunan (lokasi, lingkungan, disain, konstruksi, lay out), sarana, alat, personal (higiene personal) dan proses di RPH.
4. RPH di Indonesia saat ini perlu ditata dan ditingkatkan, terutama perlu ada komitmen kuat dan konsistensi dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjadikan RPH sebagai pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang ASUH.
5. Pengembangan konsep “better practice” atau “best practice” di RPH Indonesia menuju perbaikan higiene dan sanitasi yang terus menerus.

Daftar Pustaka
Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.
Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan, JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention systems. Int J Food Microbiol 66: 119-129.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2003. Jakarta: Departemen Pertanian.
Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen: Wageningen Pers.

Sumber:
Denny Widya Lukman
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Disampaikan pada fgW Food Conference di Jakarta, 6-7 Oktober 2004

Sabtu, 17 Juli 2010

Ketulusanku

Oleh: Achmad Prafitdhin
30 Mei 2010, Pukul 19.36

Kini aku tak bisa berkata
Kini aku tak mampu bersua
Hanya angan yang terlalu jauh dari mata
Hanya angan yang mengalun oleh ombak dunia

Aku tak pernah bermimpi
Mengapa bisa seperti ini
Mengapa aku mengalami hal ini
Mengapa semua ini harus terjadi

Aku butuh motivasimu
Aku perlu sentuhan cintamu
Aku ingin cinta tulusmu
Aku hanya ingin dirimu

Oh... Tuhan
Lapangkanlah dadaku
Lapangkanlah langkahku
Lapangkanlah gerakku

Lancarkanlah petualanganku
Hilangkanlah kerikil-kerikil kecil di depanku
Hilangkanlah, Tuhanku
Aku sering menghilangkan kerikil di ”jalan hidup makhlukMu”

Hilangkanlah kerikil itu
Sebab, kini aku tak mampu
Hilangkanlah untuk diriku
Hilangkanlah untuk kelapangan rahmatMu

Biarkan aku berjalan lepas
Biarkanlah aku berlari
Jangan Kau gandoli
Jangan Kau biarkan cintaku kandas

Aku hanya bisa memelas
Aku hanya bisa meminta
Aku hanya bisa berusaha
Aku hanya bisa berdoa

Tak pernah aku bermain-main
Tak akan aku ingin mengecewakan
Jangan Kau kecewakan aku Tuhan

Jangan Kau tinggalkan aku
Jangan Kau kecewakan cintaku
Lingdungilah diriku

Kamis, 24 Juni 2010

Urgensi Pemakaian Pupuk Organik

Oleh : Achmad Prafitdhin

Kualitas tanah yang semakin buruk dikhawatirkan akan menekan produktivitas tanaman. Hal tersebut mendorong DR Indah Prihartini, dari Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Malang, melakukan sosialisasi di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) setempat mengenai pemanfaatan kotoran ternak sebagai pengganti pupuk kimia atau yang sering disebut Bokasi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati).

Sebelum melangkah lebih jauh yang perlu diketahui pembaca, bahwa pada dasarnya semua kotoran ternak dan limbah dari bahan organik mampu didegradasi (dirombak) oleh bakteri. Di alam terdapat banyak bakteri yang mampu mendegradasi bahan-bahan komplek menjadi bahan yang lebih sederhana sehingga mampu diserap oleh tanaman. Sebagai contoh, bakteri Rhizopus oligosporus mampu merombak asam pitat yang terdapat di bekatul, sehingga kandungan Ca dan P pada bekatul semakin meningkat. Bakteri selulolitik mampu merombak selulosa dan lignolitik yang mampu merombak lignin (lapisan kaca) pada tanaman padi, jagung, dan tebu sehingga mudah hancur.

Sosialisasi pembuatan Bokasi pada para petani sangat penting. Mengingat akhir-akhir ini harga pupuk yang semakin mahal dan sering terjadi kelangkaan. Alternatif yang muncul salah satunya adalah membuat pupuk organik sendiri. Dalam penyampaian materinya, Indah menyatakan, bahwa pupuk organik dapat menggantikan pupuk kimia hingga 30%. Kenyataan bahwa hasil panen akan relatif menurun pada panen pertama bisa saja terjadi. Namun setelah dua kali panen akan kembali pulih dan bahkan cenderung meningkat.

Memang, sifat pupuk organik tidak dapat langsung secara cepat diserap oleh tanaman layaknya pupuk kimia. Pemberian harus bertahap, hingga menghasilkan pH 7 (tingkat keasaman yang netral). Pengetesan dengan mudah dan murah bisa menggunakan kertas lakmus yang banyak dijual di toko-toko pertanian atau apotek. Jika warna merah menunjukkan warna yang cenderung kearah pH asam sedangkan biru mennunjukkan pH basa.

Kelebihan penggunaan pupuk organik adalah memperbaiki dan memulihkan struktur tanah yang semakin asam karena terus menerus diberi pupuk kimia. Hal itu ditunjukkan dengan ikatan air yang berada di antara butiran tanah. Air pun semakin lama mampu tersimpan dalam tanah. Sehingga pH netral bisa didapatkan.

Banyak macam biakan bakteri starter yang biasa digunakan para petani untuk membuat Bokasi. Antara lain yaitu EM4, Starbio, Super Degra dan lain-lain. Jenis tersebut pun sangat banyak tersedia di toko-toko pertanian. Melalui starter tersebut pembuatan Bokasi semakin cepat.

Pada proses normal, kotoran ternak mampu terurai secara sempurna yang ditandai dengan tidak berbau, berwarna gelap, dan jika dipegang tidak menggumpal. Waktu normal tanpa perlakuan sampai 4-6 bulan. Namun dengan menggunakan bakteri starter, pupuk organik dapat diperoleh dalam waktu kurang dari satu bulan, bahkan dengan produk yang diteliti oleh Indah yang kini belum diperjual belikan secara luas dipasaran, pupuk bokasi bisa diproduksi dalam waktu 6-9 hari.

Bahan pembuatannya pun hanya mengandalkan limbah ternak dan pertanian, seperti kotoran ternak, jerami padi, daun-daun kering, tetes tebu (molasses) atau dapat diganti gula merah/aren, kapur tohor dan sekam gergaji. Dengan kita mau membuat kompos sendiri maka akan mengurangi ketergantungan pupuk kimia.

Kita ketahui bersama bahwa pupuk kimia dalam waktu lama juga akan berbahaya bagi tanah karena semakin maracuni tanah. Tanaman yang seharusnya menjadi subur tidak sulit berkembang. Menurutnya doktor UMM tersebut, karena tanaman semakin sakit ketika ditambahkan pupuk kimia. Disamping itu subsidi pupuk kimia oleh pemerintah pada tahun 2010 ini dikurangi hingga 6,2 triliun, jika dibandingkan dengan 2009 Dampak pengurangan subsidi pupuk kimia pun akan semakin mencekik para petani. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik sangatlah urgen sehingga memang seharusnya dipercepat demi struktur tanah dan kelangsungan hidup tanaman, yang pada ujungnya untuk membantu para petani dalam mengatasi masalah pupuk.

Artikel ini telah diterbitkan Majalah Sinar Tani pada tanggal 13 April 2010.

Sabtu, 15 Mei 2010

Ku Cinta

Oleh: Achmad Prafitdhin
Sabtu, 15 Mei 2010, Pukul 15.58

Ku tarik nafas dalam-dalam
Ku tekan kerinduanku yang memuncak
Ku tekan amarah dan nafsuku ketitik nadir
Ku hempaskan seluruh ketidakpastian
Ku lemparkan seluruh ketidakberdayaan

Ku hembuskan cinta
Ku hembuskan rasa
Ku hembuskan suka

Tak pernah kubiarkan duka

Kesulitan
Ketidakpastian
Keengganan
Kecerobohan

Tak kan pernah menghampiri lagi
Tak kan boleh selalu menyelimuti
Semua,
Terhempas oleh rasa
Terkikis oleh cinta
Tertutup oleh suka

Ku tekan kembali
Ku remat jantungku
Ku rasa dalam hati
Terkenang dalam jabat tangan erat
Ku ingat dalam buaian rasa

Ku biarkan menyelimuti seluruh jiwa
Ku katakan untuk nyawa
Ku memang begini adanya

Ku terus memandanginya
Ku tatap mata indahnya
Ku memang mencintainya
Dengan rasa dan nyawa

Tak kan pernah kuhentikan cinta
Tak kan pernah kubiarkan duka
Ku akumulasikan dalam buaian rasa, cinta, dan asa

Jumat, 02 April 2010

Manajemen Pemeliharaan Ternak Unggas (Broiler)

Oleh: Achmad Prafitdhin*

Dalam usaha peternakan unggas tidak lepas dari tiga unsur penting yaitu bibit, pakan, dan manajemen. Proporsi masing-masing yaitu 20% untuk bibit, pakan sebanyak 30% dan manajemen sebesar 50%. Kesemuanya bersinergi dalam suatu produksi ternak unggas.

A. Bibit
Bibit sebaiknya berasal dari pabrik dengan standart pengendalian mutu yang baik. Sebelum mendapatkan bibit, pabrik telah menyeleksi parent stock. Parent stock harus bagus secara performansnya yaitu sehat, kaki tidak pincang, punggung lurus tidak bungkuk, leher sempurna, dan bobot badan seragam.
Pemilihan tersebut didasarkan pada ayam saat melakukan perkawainan membutuhkan tumpuan kaki yang kuat. Selain itu kesehatan organ rangka sangat dibutuhkan oleh pejantan maupun betina.
Berbeda dengan ayam layer, ayam broiler memiliki siklus produksi telur (indukan parent stock). Yaitu umur 1-4 minggu disebut periode breeding, 5-25 minggu disebut growing, dan 26-64 minggu disebut laying. Sedangkan pada ayam layer, umumnya memiliki siklus produksi lebih cepat yaitu umur 19 minggu telah bertelur.
Mulai umur 26 minggu ayam parent stock telah bertelur. Namun telur tersebut tidak layak untuk ditetaskan. Telur-telur yang dihasilkan harus disortir. Telur tetas (hatching egg) dipisahkan dari telur young flock (telur yang dihasilkan oleh induk muda/ayam tembehan). Tujuannya adalah agar ayam yang dihasilkan tidak lemes-lemes karena berasal dari induk tembehan tersebut. Ukuran telur pun harus di perhatikan terhadap besar dan bentuknya. Umumnya memiliki indeks 45%.
Selanjutnya telur akan dikirim kepada hatchery untuk ditetaskan. Biosekuriti pada pabrik penetasan ayam lebih ketat daripada lainnya. Mulai dari biosekuriti mesin tetas, karyawan, peralatan, kendaraan, sampai dengan fumigasi hatching egg itu sendiri. Karena ayam-ayam bibit dihasilkan disini. Jika ayam bibit terserang penyakit maka akan menjadi masalah besar. Siklus ayam selanjutnya menjadi terganggu.
DOC (setelah 21 hari dalam mesin tetas) siap dikirimkan kepada pemesan, mitra ternak atau dipelihara sendiri untuk pabrik.
Metode pemeliharaan DOC yaitu menyiapkan brooder/indukan dan mengatur suhu kurang lebih 32-36°C. Gasolec dinyalakan hingga truk pembawa DOC datang setidaknya 2-3 jam sebelum ayam dimasukkan dalam kandang (Gasolec menyala hingga ayam umur 3 minggu). Dan melakukan tebar pakan sebanyak 1,5 kg tiap brooder. Target yang harus dicapai yaitu DOC harus mengenal lingkungan dalam kurun 4 jam pemeliharaan. Dalam waktu tersebut pun DOC harus makan dan 100% dari populasi temboloknya harus sudah terisi dengan pakan.
Alas kandang menggunakan kertas koran. Tujuannya adalah untuk mengendalikan bakteri penyebab koksidiosis. Jika ayam terlalu banyak memakan ekskretanya sendiri yang mengandung bakteri pembawa koksi maka koksidiosis akan menyerang. Namun jika ayam terlalu sedikit memakan ekskretanya jumlah bakteri koksidiosis yang dimakan sedikit, juga akantidak bagus. Sehingga harus tepat, salah satu pengendaliannya menggunakan kertas koran. Selain itu kertas koran menyerap air dan akan mudah dibersihkan dengan cara mengugulungnya.

B. Pakan dan Minum
Pakan diberikan sesuai tingkatan umur. Terdapat pakan starter, grower dan layer. Bagi ayam broiler umumnya hanya dua tipe pakan yaitu starter dan finisher. Namun pada ayam broiler parent stock tipe pakan berdasarkan tiga jenis pakan tersebut. Pakan starter umumnya memiliki kandungan protein 21-23%, grower 19-21% dan layer 18%. Sehingga pemberian pakan harus disesuaikan umur ayam.
Pemberian pakan harus selalu terkontrol dengan baik. Pakan diberikan menjelang DOC datang. Dengan volume tebar sebesar 1,5 kg per brooder. Saat DOC, jumlah pakan yang diberikan sedikit demi sedikit namun dalam waktu yang sering. Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan nafsu makan serta menghindari kotoran yang bercampur dengan pakan. Sebab pada DOC tempat pakan berupa nampan plastik dan bukan berupa tempat pakan gantung. Sehingga harus sesering mungkin dibersihkan.
Pada ayam dara pemberian pakan dan minum secara otomatis sehingga mengurangi kontak dengan karyawan. Pemberian pakan yaitu 2 kali. Namun, ada juga metode dengan satu kali pemberian pakan selanjutnya dengan minum add libitum.
Feeder space tiap tempat pakan yaitu 1-8 ekor ayam. Semua ayam harus makan secepat-cepatnya, sehingga dalam waktu 15 menit semua pakan pada tempat pakan tersebut harus habis. Setelah 15 menit tempat pakan sesegera mungkin dinaikkan untuk menghindari “pencurian” pakan oleh ayam.
Pemberian pakan juga menganal sistem puasa. Namun, ayam masih tetap minum agar metabolisme tubuhnya tetap terjaga. Dengan konsep untuk memperoleh uniformitas ayam. Ayam akan seragam jika diperlakukan cara makan dan minumnya. Pemberian pakan metode treatment penulis bahas pada bagian manajemen.
Pakan untuk pagi hari disiapkan pada waktu sore hari, tujuannya agar distribusi pakan dapat cepat diperoleh. Sehingga ayam dapat makan dengan jumlah yang telah ditentukan, jatah makan pun menjadi terpenuhi.

C. Manajemen
Manajemen adalah suatu usaha pengelolaan untuk peternakan unggas agar mendapatkan keuntungan maksimal dengan tidak mengesampingkan faktor produksi lain. Salah satu faktor yang penting selain pakan dan bibit adalah kesehatan ternak, kandang, dan sumberdaya manusia.
Kesehatan pada ternak unggas menjadi harga mati. Sebab dengan tingkat produktivitas tinggi unggas mudah stress. Sehingga daya tahan tubuh gampang turun dan akhirnya penyakit mudah masuk ke dalam tubuhnya.
Biosekuriti, merupakan langkah awal pencegahan agar ayam broiler tidak mudah terjangkiti penyakit. Hal tersebut dilakukan pada :
- lingkungan farm, seperti segera mengeluarkan bangkai ayam dari dalam kandang agar tidak menyebarkan penyakit dan menjangkiti unggas lain
- pakaian dan sepatu karyawan
- sanitasi pada orang-orang yang memasuki kawasan dalam kandang, terkait erat dengan pekerja. Setidaknya ada 4 tahapan sterilisasi penyemprotan pada tubuh karyawan
- biosekuriti pada kendaraan, peralatan, dan lingkungan
Vaksinasi, vaksinasi harus dilakukan tepat waktu. Vaksinasi dapat meningkatkan kekebalan tubuh ayam. Karena tubuh akan membentuk antigen terhadap jenis bakteri atau virus yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Dan ketika ternak tubuhnya termasuki oleh bakteri atau virus yang sama, maka ternak tersebut telah kebal terhadap bakteri atau virus yang bersangkutan.
Vaksinasi dilakukan dengan beberapa metode diantaranya spray, wings web, intramuscular (leg), sub cutanous, tetes mata, tetes hidung dan tetes mulut (oral). Sedikitnya ayam mengalami 17 kali vaksinasi selama hidupnya hingga umur 2 tahun (versi Charoen Pokhpand). Beberapa vaksin tersebut diantaranya adalah ND, IBD, AI, ILT, dan Gumroro. Vaksin diberikan sesuai umur ayam dan kondisi lingkungan.
Pengobatan dilakukan ketika ayam mengalami sakit. Namun, tentu lebih baik adalah pencegahan dari penyakit melalui program biosekuriti dan vaksinasi.
Treatment/perlakuan juga menjadi perhatian khusus pabrik. Terutama pada ayam parent stock. Treatment biasanya dilakukan pada pemberian pakan. Ayam dipuasakan dengan model perbandingan antara makan dan puasa sebesar 4:3, 5:2, atau 6:1. Ayam mulai dilakukan treatment ini umur 5-22 minggu. Pada umur 5-7 minggu menggunakan model 4:3. Pada umur 8-14 minggu menggunakan treatment 5:2. Dan untuk umur 19-22 minggu menggunakan model 6:1. Tujuan dari perlakukan itu sendiri adalah untuk memperoleh ayam yang seragam dari segi bobot badan. Pakan yang diberikan dalam satu minggu dijumlahkan dan dibagi dengan hari saat mereka makan.
Misalnya dalam satu minggu ayam menghabiskan pakan sebanyak 700 gram. Maka, jika dengan perlakuan 4:3, jumlah pakan tersebut dibagi dengan 4 sehingga dapat diperoleh seperti berikut ini:
Tabel 1. Treatment pakan pada ayam umur 5-7 minggu
Keterangan Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
Keadaan biasa 100 gram 100 gram 100 gram 100 gram 100 gram 100 gram 100 gram
Dengan treatment 175 gram Puasa 175 gram Puasa 175 gram Puasa 175 gram
Perkandangan sangat menunjang kesehatan dan produktivitas ayam. Model kandang, sangat menentukan sirkulasi udara dalam kandang dan jumlah amoniak yang menguap. Pada kandang PT Charoen Pokhpand, model kandang yang digunakan adalah dengan tipe tertutup (close house). Dengan tipe tertutup aliran angin (air flow) akan mudah dikontrol. Selain itu untuk mengurangi ayam kontak dengan udara terbuka yang mengandung bibit penyakit.
Kandang tertutup menggunakan kipas angin untuk mengeluarkan udara dalam kandang yang banyak mengandung amoniak. Udara masuk dari arah ujung samping kiri dan kiri bagian kandang. Udara harus melewati penyaringan (filter) untuk mencegah bibit penyakit masuk saat udara masuk. Sedikitnya terdapat 3 buah filter yang dilewati udara masuk tersebut.
Tujuan udara masuk dilewatkan samping kiri dan kanan yaitu ketika udara masuk dan berbenturan satu dengan yang lain, udara tersebut akan membawa lebih banyak oksigen.
Kipas angin atau blower ditempatkan di bagian ujung kandang. Tujuannya saat udara masuk maka udara yang lain teresak dan segera mengeluarkannya. Kandang ukuran 12 x 120 meter membutuhkan 8 buah blower.
Melalui satu kesatuan utuh manajemen produksi ternak unggas baik bibit, pakan dan manajemen pemeliharaan akan diperoleh keuntungan yang maksimal. Sebab tujuan akhir dari manajemen ternak unggas adalah mendapakan keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya.

Senin, 22 Maret 2010

Globalisasi dan Jati Diri Bangsa

Oleh: Achmad Prafitdhin*)

Bangsa besar adalah bangsa yang memiliki jati diri luhur dan beradab. Sopan dalam bertingkah laku dan santun dalam bertutur kata.

Tidak demikian halnya saat globalisasi layaknya sekarang ini. Jati diri bangsa yang konon beradab, berbudi pekerti luhur, sopan santun dan kekeluargaan hilang seiring munculnya jaman global. Jaman ini telah merusak kepribadian sebagian besar generasi penerus bangsa.

Salah satu korban dampak globalisasi adalah anak muda, yang kini cenderung arogan, sombong, dan mau menang sendiri. Mereka menjadi kurang sopan kepada orang tua dan guru. Kekhawatiran itu terus diperparah oleh munculnya berbagai kejadian tawuran antar pelajar. Tawuran yang terjadi di mana-mana merupakan salah satu indikasi rusaknya moral generasi muda penerus bangsa.

Siapa yang bersalah oleh banyaknya tawuran antar sekolah dan antar pelajar itu? Peran orang tua dan guru menjadi pertaruhan layaknya sebuah kartu domino. Tidak dijatuhkan kalah, dijatuhkan pun juga akan kalah.

Demokrasi cenderung menghilangkan sifat gotong royong yang telah lama tertanam pada jiwa bangsa ini. Demokrasi lebih mementingkan golongan sendiri tanpa sedikit pun memikirkan pihak lain.

Semua orang seakan lupa atau malu dengan musyawarah. Mereka lebih senang memutuskan masalah dengan suara terbanyak atau voting. Siapa yang memiliki jumlah anggota yang banyaklah menjadi pemenang. Jika para pendiri bangsa dahulu membuat negara ini dengan musyawarah, sekarang ini menjadi tidak lagi demikian. Banyak orang semakin suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Musyawarah yang sekian lama tertanam pada jiwa luhur bangsa Indonesia, kini menghilang tersapu dan tergerus oleh ombak golbalisasi. Rapat lebih memutuskan masalah melalui jalan demokrasi, tanpa lagi mementingkan musyawarah.

Bangsa yang terkenal ramah dan berjati diri luhur luntur oleh keadaan. Demo anarkhis terjadi dimana-mana. Masyarakat tidak lagi percaya kepada para ulama dan pemimpinnya. Mereka cenderung memercayai uang dan kedudukan.

Merunut kebalakang oleh banyaknya kejadian yang jauh dari jati diri bangsa. Informasilah yang seharusnya banyak disalahkan. Peran media massa akan menjadi pertaruhan. Media massa harus bertanggungjawab atas rusaknya moral dan jati diri bangsa, selain memberi informasi, media massa seharusnya mampu menciptakan berita yang berkarakter dan bertanggungjawab. Tanpa harus menciderai jati diri bangsa yang telah mengakar kuat, namun hal ini kini mulai pudar seiring kebebasan.

Solusi yang mampu memperlambat laju penggerusan moral kepribadian dan jati diri bangsa adalah dengan terus menanamkan jiwa nasionalisme di segala bidang. Mulai cinta produk dalam negeri, kesenian dan budaya, bahasa, dan yang harus menjadi titik kulminasi adalah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dengan jati diri yang berkarakter luhur. Media massa tentunya sebagai transformator bagi terciptanya keadaan ini. Agar jati diri bangsa dengan jiwa luhur kembali pulih dari penyakit kronis yang mulai menggerogoti setiap organ tubuhnya.

NKRI dan Penyakit Senjanya

Oleh : Achmad Prafitdhin
14/08/09

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menginjak usia 64 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Agustus , Indonesia menjadi negara yang makin “tua”. Di usia senjanya, “tubuh” semakin rentan oleh gerogotan “penyakit”. Baik penyakit dari dalam oleh rapuhnya ‘sel-sel tubuh’ maupun dari luar yang berupa invasi “virus dan cuaca ekstrem”. Namun, diumur yang tua ini, telah semestinya pengalaman selalu menyertai perjalanan hidup. Banyak “suka dan duka” telah menghampiri. Penyakit pun akan lebih mudah terdeteksi dan teratasi.

Sel ibarat individu masyarakat, sedangkan tubuh bagaikan NKRI. Individu masyarakat merupakan sel terkecil penyusun negara. Hakekatnya, sel dan organ/gabungan sel-sel adalah pelaku “metabolisme”. Energi tercipta dari perombakan-perombakan pada tingkatan tersebut. Apabila salah satu sel tidak mampu bekerja dengan baik maka metabolisme akan terganggu. Apalagi kalau salah satu sel melakukan “bunuh diri” maka sama halnya membunuh tubuh secara keseluruhan.

Seperti halnya manusia, NKRI juga mengalami peralihan masa. Masa lahir pada Proklamasi 17 Agustus 1945, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Namun, kita tidak akan rela bangsa dan negara ini mengalami masa kematian. Segenap daya dan upaya dikerahkan untuk mengobati penyakit yang kian membabi buta.

Banyak ancaman penyakit yang ketika masih dalam usia “muda” dianggap biasa dan mudah “dibasmi”. Tetapi ternyata, diumur senjanya berubah menjadi “sel kanker komplek”. Mengganas dan meradang di dalam maupun di permukaan tubuh. Terorisme, ancaman disintegrasi, kemiskinan, degradasi moral dan budaya bangsa. Kesemuanya adalah ancaman penyakit yang harus dibasmi oleh “dokter mumpuni”. Mereka adalah para guru.

Para guru selayaknya konsisten dengan apa yang menjadi tugasnya. Tugas utama mereka sesuai dengan tujuan nasional negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Seiring kecerdasan dan kemapanan ilmu masyarakat, maka penyakit pun bisa dicegah dan diatasi. Pengetahuan dalam mengonsumsi “suplemen” penambah tenaga semakin digalakkan. Dari segi psikologi dan kejiwaan, sugesti-sugesti untuk berfikir dan bertindak lebih positif ditransferkan. Oleh sebab itu, kesehatan prima akan menolak datangnya sel kanker komplek tersebut.

Ceremoni kemerdekaan bukan ajang hura-hura, melainkan adalah wahana untuk mawas diri dan berbenah diri. Agar “kesehatan” selalu terjaga. Sebab, mempertahankan kesehatan tubuh jauh lebih penting dari pada mengupayakan “mencari pekerjaan baru”.

Karnaval dan perayaan kemeriahan hari kemerdekaan lainnya memang pantas dilakukan. Selalu ingat hari kemerdekaan akan mengingatkan pada perjuangan para pahlawan. “Perjuangan sel” terdahulu dalam memerangi penyakit yang mencoba menghinggapi tubuhnya.

Ketika energi cinta, perasaan, kesenangan, kebahagiaan dan suka cita menyatu oleh buaian hari kemerdekaan. Itulah waktu paling tepat untuk menghipnotis dan mendoktrin seluruh individu masyarakat untuk kembali menjunjung tinggi kecintaannya pada negara – nasionalisme. Melalui itu pun kejadian-kejadian buruk masa lalu direnungkan bersama. Instrospeksi diri pencegahan pada hal sama terulang untuk kedua kalinya.

Permusuhan sesama anak bangsa harus dihentikan. Hal itu akan menguras energi, waktu dan biaya besar. Energi akan terbuang percuma hanya untuk memusuhi teman dalam “tubuh sendiri”. Waktu pembangunan akan terhenti oleh kekacauan, permasalahan, ketidaksinkronan “sel dan organ”. Biaya besar akan dikeluarkan untuk mengobati bagian tubuh sakit tersebut.

Oleh sebab itu, gotong-royong dan integrasi antar sel dan organ dalam tubuh harus dilakukan. Tujuan akhirnya, mampu melindungi dan bahu membahu membentuk tubuh kuat, tangkas dan cerdas. Sehingga “tubuh” mampu berkesinambungan dalam mengangkat beban yang semakin lama kian berat. Penyakit pun menjauh dari tubuh, meski telah memasuki usia senja berkat harmonisnya kerja sel-sel. Jaya NKRI-ku, jaya Indonesia-ku!

Guru dan Degradasi Moral

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Budaya sopan santun bangsa ini kian lama menghilang seiring perkembangan jaman globalisasi dan kapitalisasi. Hampir seluruh aktivitas didasarkan pada jumlah uang dan keuntungan yang diperoleh.

Di satu pihak sekolah menambah jam pengajaran kewirausahaan. Agar para murid bisa ‘mandiri dan menghasilkan banyak uang’ ketika mereka lulus. Alih-alih tidak memberatkan negara. Di lain pihak sekolah tidak pula menambah atau bahkan mengurangi pendidikan moral dan budi pekerti (agama dan pendidikan dengan basic moral lainnya). Akibatnya, banyak muncul wirausahawan baru, namun ‘menghalalkan segala cara’ untuk mendapatkan kekayaan. Seperti KKN untuk pengadaan proyek-proyek dan fasilitas umum.

Dahulu guru dijadikan panutan, digugu (dianut) dan ditiru (dicontoh). Kini tidak lagi demikian. Sekarang guru hanya dijadikan suatu penyampai informasi. Bukan lagi seorang pendidik tetapi seorang pengajar. Tidak lagi memberikan contoh ‘bekal budi’ tetapi mengajarkan ‘teori berbudi’.

Apabila dalam penyampaian ‘teori’ oleh guru, anak didik merasa tidak puas, maka mereka akan mencari sendiri informasi yang diinginkan. Efeknya, fungsi dan tanggung jawab guru sebagai filter tidak ada bahkan cenderung sia-sia. Tidak ada lagi saringan. Baik buruknya informasi akan diserap apa adanya.

Ilmu yang ditransferkan guru kepada murid akan diterima kurang lebih sebesar 40 persen. Namun, bagaimana jadinya jika tansfer tersebut berupa ilmu pemerkosaan? Ironis sekali saat ditayangkan di beberapa media televisi, ada ‘guru’ melakukan pemerkosaan terhadap muridnya sendiri. Adalagi ‘guru’ yang nyambi ngrampok. Atau, kasus terakhir adalah guru agama yang menyudutkan korek api kepada siswanya. Yang katanya, untuk memberikan pelajaran tentang akherat. Bagaimana dampak kepada murid yang lain? Bukankah itu juga merupakan sebuah “ilmu”?

Salah satu pihak ‘bertanggungjawab’ atas rusaknya etika, moral dan kepribadian bangsa adalah para guru dan sekolah. Sekolah memang mengawasi murid hanya enam sampai delapan jam setiap hari , tetapi ‘prinsip dasar kehidupan berada di pundak mereka’.

Bukan maksud penulis untuk memojokkan para guru dan sekolah. Tetapi kalau gurunya saja bertindak demikian apalagi muridnya. Wajar jika moral bangsa ini lambat laun mengalami degradasi/penurunan yang tidak menutup kemingkinan akan mengalami kehancuran.

Guru tidak lagi menjadi tumpuan murid dalam berkarya. Orientasi guru, kini adalah suatu pengakuan dari masyarakat akan gelar kesarjanaan atau jumlah gaji yang diterima. Penulis sadar bahwa tidak semua guru demikian. Banyak guru-guru yang masih memegang teguh sumpah dan janjinya untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.

Bangsa ini memerlukan guru-guru tangguh. Mereka diharapkan bisa mejadi penggerak ”mesin jenset moral.” Kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan segera pulih saat para guru memutar mesin. Mesin tidak akan hidup dalam satu kali putaran tetapi beberapa putaran hingga dirasa “jenset bisa berputar sendiri.”

Mesin dengan kapasitas daya 240 juta watt tidak akan ada artinya manakala terdapat sejumlah kabel yang putus. Daya tersebut setara dengan jumlah peduduk Indonesia saat ini. Murid laksana seutas kabel yang menentukan hidup atau matinya ‘lampu moral di masa selanjutnya’. Sekolah merupakan pembungkus kabel. ”Bagaimana sekolah mampu melindungi daya sebesar itu kalau memang hanya terbuat dari plastik bekas?” Sehingga sekolah seharusnya dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.

Cahaya moral segera menerangi seisi negeri saat ‘mesin’ dihidupkan. Kapankah mesin itu akan dinyalakan? Akankah dengan kucuran dana 20 persen dari pemerintah, ”kabel-kabel” itu akan mampu dan kuat menyangga beban daya sebesar itu? Ataukah masih tetap seperti sekarang ini?

Belajar dari Anak Ayam

Oleh : Achmad Prafitdhin

Duduk di depan pintu dapur kos merupakan kebiasaan pagi saya. Sembari menunggu antrian mandi. Maklum kamar mandi kos saya cuma dua dan itupun dipakai oleh sembilan orang penghuni. Letaknya dekat dengan kandang ayam miliki tetangga.

Setelah kelelahan pada malam harinya karena mengerjakan banyak tugas kuliah yang menumpuk. Pagi itu rasanya berat untuk beranjak dari tempat duduk. Tak sadar saya melihat empat ekor anak ayam yang sedang mencari laron (rayap bersayap) dengan sangat antusias. Saya pun terhentak dan terbelalak sejenak. Pikiran saya melayang. Semangat hidup rasanya kembali pulih. Meskipun pagi nan dingin diiringi rintikan air hujan semakin membuat orang menjadi malas.

Semangat saya muncul berkat ‘kelakuan’ ayam yang penuh suka cita menyambut ‘kelahiran’ hari baru. Tanpa rasa malas sama sekali, pagi dingin itu mereka gunakan untuk berlarian kesana kemari mengejar laron yang terbang dan jatuh ke tanah. Empat ekor ayam itupun akhirnya kenyang karena temboloknya terisi laron dalam jumlah banyak.

Antusias binatang kecil tak berakal menjadi pelajaran tersendiri. Sambil berbicara rendah, seorang teman membentak saya dari belakang. Saya katakan kepadanya, kalau anak ayam saja, tanpa akal, tanpa induk/orang tua dan tanpa ilmu mampu menghadapi hidup dengan penuh optimis. Bagaimana kita manusia yang dikaruniai akal dan ilmu bahkan orang tua yang senantiasa membimbing setiap langkah menuju peraduan hidup. Tentunya kita harus lebih optimis dari anak ayam yang memang dari lahir sudah tidak mengenal induknya karena ditetaskan dalam mesin penetas.

Sebagai manusia terkadang kita lupa bahwa Tuhan senantiasa memberikan rejeki. Rejeki itu harus kita usahakan. Berjalan, berlari dan mengayuh sepeda patut dilakukan untuk mendapatkan semua itu. Rejeki bukan hanya untuk manusia. Bahkan binatang telah diberi rejaki oleh Tuhan sebagai Sunnatulloh. Namun, tak lepas dari perbuatan mengusahakannya. Bagaikan anak ayam tersebut, mereka berjalan dan berlari demi mendapatkan tujuan hidupnya, mendapatkan seekor demi seekor laron, hingga temboloknya penuh terisi.

Pelajaran hidup lain dari anak ayam tentang penguasaan harta. Pepatah Jawa mengatakan “enek awan enek pangan”. ( Ada siang ada makanan/rejeki). Bila ditelaah, kebijaksanaan seperti itu membuat kita lebih optimis menghadapi jengkal demi jengkal hidup ini. Manusia tidak perlu saling membunuh satu sama lainnya. Negara besar yang kuat tidak perlu menginvasi Negara kecil yang lemah. Hanya untuk berebut makan. Semua sudah digariskan Tuhan. Tinggal bagaimana kita mengusahakan demi kemaslahatan umat.

Jika saja salah satu anak ayam tersebut tidak terima karena kekecewaannya kepada anak ayam yang lain. Tentulah tembolok temannya akan dipatuk dan dikeluarkan seluruh isi laron yang telah dimakannya. Tetapi sepertinya mereka paham, kalau temboloknya telah penuh dengan laron, maka mereka pun tidak lagi makan. Sehingga membiarkan temannya yang lain untuk menyantap laron tersebut.

Apabila kita tidak menghiraukan ukuran “tembolok” yang kita miliki dan meneruskan untuk tetap makan. Sedangkan orang lain sama sekali belum makan. Maka bersiaplah untuk segera ‘dipatuk’ teman sendiri. Apalah artinya kalau “tembolok” yang kita miliki penuh tapi akhirnya ‘dikanibali’ teman sendiri yang pada akhirnya membuat kita mati. Memang lebih baik saling berbagi agar hidup lebih mempunyai arti. Sehingga orang lain pun ikut menikmati hidupnya dengan penuh optimis. Sebab mereka merasa bahwa “temboloknya” juga difikirkan orang lain. Selain itu, ada sebagian harta kita yang merupakan hak orang lain. Biarlah orang lain juga turut menikmati sebagian harta itu. Apakah gara-gara salah mencari kekayaan membuat kita dihujat orang orang? Untuk sepatutnya direnungkan.

Bahasa Manusia

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Bahasa manusia sangatlah beragam. Menurut Ferdinand de Saussure seorang sarjana linguistik Swiss pada awal abad ke- 20 mendefinisikan bahasa sebagai sistem isyarat. Sedangkan John B. Carol juga meninjau bahasa dari sudut linguistik yang merupakan sistem bunyi vokal berstruktur dan urutan-urutan bunyi. Selain itu masih banyak ertikulasi bahasa menurut ahli-ahli bahasa seperti bahasa adalah tabiat, sintesis bunyi, dan lambang petuturan.

Seperti halnya arti bahasa sendiri, bahasa pun berkembang bersama perkembangan manusia dalam masyarakat. Sehingga kosakata pun tidak akan pernah berkurang, justru semakin bertambah seiring pemikiran dan perkembangan manusia.

Bahasa – verbal – tercipta dari suatu kesepakatan manusia. Sedangkan bahasa tubuh dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan yang bersifat alamiah dan insting. Pokok bahasa berawal dari semenjak manusia dilahirkan.

Sejak kelahiran seorang bayi pun bahasa telah muncul mengiringi, yaitu bahasa tangisan. Saat bayi, bahasa yang muncul hanya tangisan. Rasa lapar, haus dan setelah buang air, sakit dan keadaan yang menyebabkan dia tidak merasa nyaman akan disusul dengan tangisan.

Saat tangisan tidak muncul dari mulut seorang bayi, dokter akan segera mengambil tindakan dengan menjungkir bayi (kepala berada dibawah) hingga ia menangis. Karena mengingat pentingnya seorang anak manusia ketika baru dilahirkan menangis untuk menyambut dunia, salain itu agar orang disekelilingnya mengetahui keadaannya meskipun sangat minim.

Di usia batita (bawah tiga tahun), seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh bayi, bahasa pun ikut berkembang. Bahasa yang semula menggunakan bahasa tangisan berangsur-angsur berkembang dengan mengenal bahasa lain; bapak, ibuk, maem, mimik, dan tertawa. Tertawa adalah salah satu bahasa tubuh anak yang harus dipahami. Tertawa si anak mencerminkan bahwa ia merasa nyaman, bahagia dan senang oleh orang yang berada di sekitarnya.

Menginjak usia tiga tahun kosakata anak mulai bertambah. Penyebutan kata-kata mulai jelas. Tidak lagi seperti ketika masih usia batita. Bahkan ia mulai mampu merangkai sebuah kalimat. “Ibuk maem tempe ” atau “Ibuk mimik susu”. Bahasa yang digunakan semakin komplek dan beragam beriringan dengan pertambahan umur.

Di umur lima tahun, mengharuskannya mampu berbicara dengan baik, meskipun masih belum jelas karena cedhal. Tetapi bahasanya terus berkembang. Ia bisa meminta bantuan, mengungkapkan rasa sakit yang dideritanya, dan bercerita atas apa yang telah dilakukan saat di sekolah.

Usia terus bertambah. Pengetahuan pun semakin memperkaya pemikiran. Seiring perkembangan pendidikan di sekolah; SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Bahasa yang digunakan bukan hanya bahasa ibu. Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, dan lain sebagainya. Bahasa yang saat bayi dan kanak-kanak tidak pernah diketahui kini mulai dipelajari dan dipraktekkan.

Semakin bertambahnya umur dan tingkat pendidikan, semakin berkembang pula ragam kosakata yang dimiliki. Terkadang menjadikan seseorang sering kali merangkai kata dan bermain kata-kata.

Seiring dengan proses belajar aneka ragam bahasa verbal, manusia juga belajar tubuh. Namun bahasa tubuh biasanya muncul begitu saja, tanpa ada proses belajar. Itu adalah insting berbahasa yang dimiliki manusia.

Pengungkapan sesuatu terkadang tidak membutuhkan bahasa verbal, namun hanya dengan pandangan mata, senggolan tangan, anggukan kepala, tepukan tangan, dan mimik wajah dan tubuh. Bahasa tubuh sangat terlihat pada orang tuna wicara. Mereka belajar menggunakan sisi lain dari tubuhnya – mulut – untuk tetap bersosialisasi dengan manusia lainnya. Tidak ada batasan bahasa pada untuk tidak bersosialisasi sesama manusia. Semua akan diterima di masyarakat dengan sisi baik dan buruknya.

Minggu, 21 Maret 2010

Panas Bukan Halangan, Hujan Bukan Rintangan

Oleh: Achmad Prafitdhin
(21/7/09)

Pepatah bilang jangan mudah menyerah dengan keadaan. Wirausaha harus ditekuni dengan sepenuh jiwa dan raga atau sesuai mind, body and soul kata orang bilang agar tubuh kita sehat.
Apabila menginginkan kesehatan dalam berfikir, maka setiap hari otak haruslah diasah. Otak diasah dengan berbagai cara. Diantaranya memikirkan kewirausahaan. Kegiatan, pola-pola penjualan, dan pola tingkah laku konsumen.
Otak yang didiamkan tanpa ada batu granit yang digunakan mengasah maka semakin lama otak pun akan berkarat dan lama-kelamaan menjadi tumpul. Disinilah peran kita sebagai manusia yang dikaruniai otak untuk berfikir yang membedakan dengan mahkluk lain di muka bumi.
Memikirkan pekerjaan apa untuk satu hari, satu minggu atau satu bulan kedepan merupakan cara mengasah otak yang paling efektif. Paling tidak agar otak tidak diam. Laiknya organ tubuh yang lain organ vital itu perlu exercise juga. Kalau Einstein menggunakan otaknya hanya 10 persen dari total volume otaknya, maka berapa kita telah menggunakan barang lunak tersebut?
Seperti halnya otak dan otot tubuh, wirausaha perlu latihan dari sedini mungkin. Tujuan utamanya adalah agar seluruh organ gerak dan jiwa bisa menyatu. Dalam hal ini adalah keterkaitan kemampuan, keterampilan, dan keahlian yang muncul tidak secara tiba-tiba. Semuanya muncul dengan latihan tekun tanpa kenal putus asa. Bahkan tak kenal waktu dan usia seseorang. Panas tidak boleh menjadi halangan, hujan pun tidak akan menjadi rintangan untuk berkarya menciptakan inovasi tanpa henti.
Dosen penulis bilang kita harus adaptable jika ingin menjadi seorang wirausahawan sukses. Dimaksud disini adalah adaptasi secara cepat dan tepat diperlukan seorang usahawan. Baik adaptasi untuk menciptakan teknologi, pasar, dan kesenanagan konsumen serta inovasi. Semua harus dibidik dengan teropong ilmu yang mumpuni.
Banyak dari manusia Indonesia yang masih suka dengan kerja dibawah tekanan. Namun sayangnya mereka yang menyukai tantangan itu umumnya bekerja untuk orang lain. Bagaimana jika pekerjaan yang meraka lakukan di bawah tekanan namun untuk dirinya sendiri? Hasilnya pasti akan memuaskan batin.
Sebenarnya wirausahawan adalah orang yang mengusahakan sesuatu untuk dirinya sendiri yang berguna bagi orang lain. Para pengusaha adalah wirausahawan. Wirausahawan tidak sebatas pada orang yang bekerja untuk diri sendiri, tetapi lebih dititik beratkan pada kemampuan mengolah dirinya sendiri secara maksimal tanpa membutuhkan orang lain.
Seorang usahawan tidak patut menyerah kepada keadaan. baik itu keadaan yang menyenangkan hatinya ataupun yang menyedihkan sekalipun. Hal itu sangat erat dengan keuntungan dan kerugian dalam berwirausaha. Seorang wirausahawan harus siap untung dan siap rugi. Oleh sebab itu, sebelum menjadi seorang usahawan perlulah kiranya gemblengan mental.
Mereka pantang menyerah oleh terpaan badai hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Rintangan dan halangan sudah di depan mata. Tetapi semua jalan untuk menyelesaikan telah disediakan Tuhan bagi orang yang mau berusaha untuk mencarinya.

Hidup Hanya Untuk Berdebat

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
28/07/09

Sebagai civitas akademika penulis tahu betul tentang masalah yang menyangkut perbedaan pendapat di kalangan para mahasiswa dan para dosen. Terkadang bahkan mahasiswa memberikan pertanyaan pada para dosennya dengan setengah memberikan tes. Apakah dia bisa menjawab suatu masalah “A” atau tidak. Apabila dia bisa menjawab berarti dianggap mampu dan bisa diikuti kuliah dan pernyataannya. Kalau tidak, terkadang mahasiswa enggan dan sering merasa bosan atas apa yang dijelaskannya selama masa perkuliahan.
Bahkan tak jarang mahasiswa seperti penulis berdebat dengan dosen pengajar. Jika stetmennya tidak bisa diterima bahkan cenderung bertolak belakang, perdebatan menjadi tidak terelakkan lagi. Tak jarang dosenpun juga mendebat mahasiswanya. Tetapi hal ini masih dianggap wajar. Karena dari segi keilmuan dosen sampai hari ini masih dianggap lebih pandai dari pada mahasiswa.
Tidak sampai di situ saja. Perdebatan terus berlanjut sampai pada ujian-ujian lisan, seminar penelitian, dan lain sebagainya. Latar belakang perdebatan umumnya adalah mempertahankan pendapat. Di kalangan mahasiswa terdapat prinsip lebih baik berbicara salah dari pada tidak berani mengungkapkan pendapatnya. Hal inilah yang terkadang sulit diluruskan. Karena mind set terlalu dalam telah menjerumuskan. Sehingga apabila terdapat hal-hal baru tanpa unsur ilmiah yang mereka tidak ketahui maka dikatakan omong kosong dan bualan.
Perdebatan tidak hanya melingkupi kalangan mahasiswa dengan pihak dosen saja. Seringkali debat juga menginfeksi mahasiswa dengan mahasiswa. Kejadian itu sangatlah tampak ketika terjadi Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). LPJ selama menjabat menjadi ketua dan anggota organisasi menjadi ajang perdebatan tanpa hasil. Merekapun sering mempersoalkan sejumlah uang yang dihabiskan selama masa jabatan. Sehingga mengabaikan inti dari LPJ itu sendiri yaitu menyampaikan kinerjanya selama menjabat dan apa yang perlu menjadi koreksi sehingga lebih baik lagi di masa mendatang. Karena biasanya sejumlah uang yang dihabiskan telah disetujui oleh Pembantu Dekan III.
Kebiasaan menyalahkan orang lain ternyata masih melekat di hampir sebagian besar mahasiswa. Solusi menjadi sulit ditemukan ketika perdebatan menggunakan emosi. Memang, emosi menjadi tak terelakkan ketika pendapat kita dimentahkan orang lain. Sehingga dalam perdebatan perlu menggunakan kepala dingin sehingga solusi akan cepat didapatkan.
Mengakui kebenaran pendapat dari satu pihak lawan pun masih sangat sulit dilakukan di kalangan mahasiswa. Dosen terkadang justru menjerumuskan. Mereka tak jarang yang hanya memberikan pertanyaan menjebak tanpa memberikan solusi pemecahan masalahnya. Hal itu menyebabkan sikap skeptis sempit muncul tak terelakkan pada dosen yang bersangkutan.
Sempat saya mengutarakan pernyataan saya di depan dosen dan mahasiswa yang sedang berdebat tanpa solusi dengan perkataan, “hidup kok hanya untuk berdebat, dan berdebat kok untuk hidup.” Artinya, hidup janganlah digunakan sebagai tempat berdebat saja dan janganlah mencari hidup/makan dari berdebat layaknya tim sukses kampanya presiden. Penulis memiliki paham arti mencari solusi jawaban tidak harus dengan berdebat. Malah berdebat seringkali menimbulkan masalah baru dan menjadikan orang lain marah akibat emosi tak terkendalinya.
Pada akhirnya janganlah berdebat hanya untuk mempertahankan pendapat kita yang belum tentu benar adanya. Carilah solusi terbaik untuk menyelesaikan perbedaan, meskipun perbedaan tidak mungkin bisa dihindarkan. Hidup layaknya untuk saling mengisi, tanpa harus menciderai dan menyakiti. Sehingga janganlah hidup hanya untuk berdebat yang tidak ada pangkalnya. Ingat, bukan hanya berdebat, tetapi masih banyak lagi yang harus dikerjakan.

Debat

Oleh : Achmad Prafitdhin
17/08/09

Akhir-akhir ini banyak acara televisi yang menampilkan dua sisi yang berbeda. Perbedaan tersebut ditampilkan dalam sebuah acara debat. Moderator bertindak sebagai penengah manakala debat tidak berujung. Selain menghindari debat kusir tanpa pangkal.
Terlebih, sangat jelas perdebatan antar kubu tim sukses pilpres di televisi beberapa waktu lalu. Tiga tim sukses diundang, di dudukkan dalam satu “meja”. Semua mencoba mengungkapkan pernyataannya. Lainnya menyanggah dan berargumen. Sorak penonton pun menambah semangat dalam perdebatan tersebut.
Debat menurut Wikipedia merupakan “kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan”. Sehingga esensi dari debat adalah munculnya solusi dan bukan masalah baru.
Sama seperti halnya tim kampanye. Calon presiden pun tak kalah ketinggalan. Mereka beradu “nyali” dalam acara yang sama. Debat Capres. Walaupun Presiden Indonesia telah terpilih namun banyak pelajaran yang dapat diambil dari debat mereka beberapa waktu lalu. Sehingga rakyat tahu bahwa para pemimpinnya sebenarnya akur-akur saja.
Manusia biasa menyalurkan argumentasi dan pemikirannya melalui debat. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Kalau binatang menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan saling bunuh. Sedangkan manusia yang memiliki akal budi melakukannya dengan debat. Meskipun kadang juga tidak terkontrol dengan baik.
Di rumah kost pun penulis juga tak jarang melakukan debat dengan teman. Semua demi mengasah cara berbicara, berfikir, dan menjaga emosi di depan umum atau setidaknya di lingkup kecil yaitu rumah. Dengan terasahnya tiga hal tersebut akan lebih membuat kita cerdas dan produktif serta bertindak cepat.
Memang, perbedaan tidak dapat disatukan. Tetapi dapat disamakan dalam hal persepsi, keinginan dan tujuan. Salah satunya berawal dari sebuah perdebatan. Namun, penulis tidak mengatakan bisa diidentikkan.
Sejak jaman Yunani dan Romawi kuno, para filsuf dan pemikirnya telah melakukan debat untuk melakukan tukar pikiran. Salah satunya adalah Aristoteles. Ia menggunakan pendekatan pemecahan masalah dari pada saling olok dalam debat. Ilmu pun berkembang dengan sempurna tanpa batas-batas.
Debat bisa dianggap baik jika dalam batas-batas kewajaran. Tetapi akan menjelma dalam keburukan ketika masing-masing pihak kukuh pada “pemikiran sempitnya”. Tujuan debat sendiri, mencoba mengaitkan perbedaan satu dengan yang lain. Dari perbedaan tersebut akan muncul solusi.
Jiwa besar akan muncul dari debat. Salah satu pihak menerima pendapat pihak lain. Pihak lain pun dengan legowo bisa menerima dan saling koreksi. Sehingga debat bukan seperti oleh raga tarik tambang.
Dalam tarik tambang, tim tidak akan menang jika belum menjatuhkan pihak lawan. Sebenarnya esensi debat bukan seperti itu. Tidak di tarik ke kanan ataupun ke kiri. Debat bukan hal keroyokan seperti itu. Mana yang banyak teman akan menang. Melainkan agar bisa menempatkan sesuai tempatnya masing-masing.
Kalaupun banyak disaksikan di acara televisi masih seperti “permainan tarik tambang”. Hal itulah yang seharusnya diubah dan diluruskan. Pendidikan debat dengan menjunjung tinggi perbedaan pendapat patut dihormati.

Urgensi Pemakaian Pupuk Kompos

Oleh : Achmad Prafitdhin
26/10/09)

Kualitas tanah yang semakin buruk dikhawatirkan akan menekan produktivitas tanaman. Hal tersebut mendorong DR Indah Prihartini, dari Lembaga Pengabdian Masyarakat Universita Muhammadiyah Malang, melakukan sosialisasi di Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang, yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) setempat.mengenai pemanfaatan kotoran ternak sebagai pengganti pupuk kimia atau yang sering disebut Bokasi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati).
Sebelum melangkah lebih jauh perlu diketahui pembaca bahwa pada dasarnya semua kotoran mampu didegradasi (dirombak) oleh bakteri. Di alam terdapat banyak bakteri yang mampu mendegradasi bahan-bahan komplek menjadi bahan yang lebih sederhana sehingga mampu diserap oleh tanaman. Sebagai contoh, bakteri Rhizopus oligosporus mampu merombak asam pitat yang terdapat di bekatul, sehingga kandungan Ca dan P pada bekatul semakin meningkat. Bakteri selulolitik mampu merombak selulosa dan lignolitik yang mampu merombak lignin (lapisan kaca) pada tanaman padi, jagung, dan tebu sehingga mudah hancur.
Sosialisasi pembuatan Bokasi pada para petani sangat penting. Mengingat akhir-akhir ini harga pupuk yang semakin mahal dan sering terjadi kelangkaan. Alternatif yang muncul salah satunya adalah membuat pupuk organik sendiri. Dalam penyampaian materinya, Indah menyatakan, bahwa pupuk organik dapat menggantikan pupuk kimia hingga 30%. Kenyataan bahwa hasil panen akan relatif menurun pada panen pertama bisa saja terjadi.
Memang, sifat pupuk organik tidak dapat langsung secara cepat diserap oleh tanaman layaknya pupuk kimia. Pemberian harus bertahap, hingga menghasilkan pH 7 (tingkat keasaman yang netral). Pengetesan dengan mudah dan murah bisa menggunakan kertas lakmus yang banyak dijual di toko-toko pertanian atau apotek. Jika warna merah menunjukkan warna yang cenderung kearah pH asam sedangkan biru mennunjukkan pH basa.
Kelebihan penggunaan pupuk organik adalah memperbaiki dan memulihkan struktur tanah yang semakin asam karena terus menerus diberi pupuk kimia. Hal itu ditunjukkan dengan ikatan air yang berada di antara butiran tanah. Air pun semakin lama mampu tersimpan dalam tanah. Sehingga pH netral bisa didapatkan.
Banyak macam biakan bakteri starter yang biasa digunakan para petani untuk membuat Bokasi. Antara lain yaitu EM4, Starbio, Super Degra dan lain-lain. Jenis tersebut pun sangat banyak tersedia di toko-toko pertanian. Melalui starter tersebut pembuatan Bokasi semakin cepat.
Pada proses normal, kotoran ternak mampu terurai secara sempurna yang ditandai dengan tidak berbau, berwarna gelap, dan jika dipegang tidak menggumpal. Waktu normal tanpa perlakuan sampai 4-6 bulan. Namun dengan menggunakan bakteri starter, pupuk organik dapat diperoleh dalam waktu kurang dari satu bulan, bahkan dengan produk yang diteliti oleh Indah, pupuk bokasi bisa didapatkan dalam waktu 6-9 hari.
Bahan pembuatannya pun hanya mengandalkan limbah ternak dan pertanian, seperti feses, jerami padi, daun-daun kering, tetes tebu (molasses) atau dapat diganti gula merah/aren, kapur tohor dan sekam gergaji. Dengan kita mau membuat kompos sendiri maka akan mengurangi ketergantungan pupuk kimia. Kita ketahui bersama bahwa pupuk kimia dalam waktu lama juga akan berbahaya bagi tanah karena semakin marecuni tanah. Tanaman yang seharusnya menjadi subur tidak sulit berkembang. Menurutnya doktor UMM tersebut, karena tanaman semakin sakit ketika ditambahkan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik sangatlah urgen sehingga memang seharusnya dipercepat demi struktur tanah dan kelangsungan hidup tanaman, yang pada ujungnya untuk kemaslahatan umat manusia.

Minggu, 28 Februari 2010

“Bersekolah” Bukan untuk Lulus Unas

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
15/06/2009

Judul di atas kelihatan sangat ekstrim dan bertentangan dengan keadaan saat ini. Ketika Ujian Nasional (Unas) menjadi berita hangat (hot news) di berbagai media masa. Penulis justru kelihatan menggembosi adanya Unas, namun tidak demikian pastinya. Saya justru iba terhadap prosesi Unas yang setiap tahun tidak pernah luput dari kecurangan.
Adanya kecurangan-kecurangan dalam ujian negara tersebut manandakan bahwa sebagian siswa dan guru bangsa ini belum siap – gagal lulus ujian – menerima kenyataan pahit, sehingga harus dilakukan Unas ulangan. Maka kiranya dapat di ambil hikmah dari kejadian tersebut. Sebab, pandai-pandai orang yaitu yang mampu mengambil hikmah dari suatu kenyataan hidup. Penulis sengaja menulis hal tersebut untuk “menggugah” generasi muda bangsa Indonesia agar tetap tabah dan tidak gegabah dalam menyikapi semua hal termasuk Unas.
Moment tahunan Unas selalu menyita banyak tenaga, pikiran, dan waktu yang berujung pada kesenangan dan kesedihan. Kesenangan menghampiri siswa lulus, sedangkan kesedihan menyelimuti hati siswa gagal lulus. Demikian terlihat ketika pengumuman hasil kelulusan di Kota Malang (13/6). Dari total murid yang mengikuti Unas, sebanyak 800 siswa dinyatakan gagal. Sedangakan di Jawa Timur sendiri total siswa tidak lulus mencapai 15.089 siswa tidak lulu (Surya-Online)
Semua siswa secara emosional akan mengalami gunjang-ganjing. Terlebih saat diumumkannya hasil Unas. Rasa berdebar-debar bercampur bingung akan selalu menyelimuti diri setiap murid. Penulis pun pernah mengalami hal yang sama saat menunggu hasil Unas.

Unas, Setitik Noda Kehidupan
Banyak siswa stres dan depresi berat akibat gagal Unas. Bahkan penulis pernah mendengar kasus murid yang gantung diri karena stres menghadapi ujian tersebut. Bukan itu tujuan dari suatu pendidikan di sekolah. Pendidikan tidak pernah membuat siswa menjadi kecewa karenanya. Unas pun tidak membentuk manusia bingung dan mudah putus asa, melainkan membentuk manusia yang kuat dan tangguh menghadapi semua cobaan hidup.
Yang menjadi pertanyaan di sini adalah seberapa besar efek Unas terhadap kehidupan para siswa?
Sedikit bercerita tentang kehidupan salah seorang kerabat penulis. Saat hasil Unas dibagikan, dia diam saja karena hasilnya memberitahukan bahwa tidak lulus. Ada beberapa opsi yang diajukan orang tua kepadanya. Pertama, mengulangi Unas tahun depan, yang berarti harus mengulangi untuk bersekolah kembali. Kedua, mengikuti kejar paket yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas). Ketiga, keluar dari sekolah dengan tidak memiliki ijasah karena tidak lulus Unas.
Ternyata dia memilih opsi ketiga yaitu keluar dari sekolah tanpa ijasah. Setelah sekian lama, dia baru sadar bahwa mengulangi bersekolah jauh lebih baik ketimbang lari meninggalkannya. Penyesalan tidaklah berguna. Penyesalan tidak pernah datang di awal waktu, ia selalu datang setelah semuanya berlalu.
Sekolah adalah proses menuntut ilmu. Sehingga kegiatan sekolah sebenarnya tidak berakhir sampai Unas saja, namun hal itu merupakan awal dari mendapatkan pendidikan baru dalam jenjang lebih tinggi. Dalam pendidikan berikutnya tuntutan jauh lebih sulit. Tanggungjawab dan disiplin menjadi sangat penting. Banyak siswa tidak betah karena di tingkat pendidikan tersebut lebih “memakan otak” ketimbang Unas.
Kegiatan sekolah berawal dan berakhir dalam sebuah proses. Proses yang terus menerus dan berkelanjutan untuk mendapatkan segudang ilmu. Buat apa kalau hanya lulus Unas tetapi tidak tahu sama sekali lautan ilmu. Lautan ilmu tidak memiliki pantai. Siapa pun yang mengarungi tidak akan bertemu dengan daratan atau pantainya. Hanya Tuhan yang tahu daratan ilmu.
Ujian yang seharusnya kerjakan sendiri oleh murid malah dikerjakan gurunya. Dengan dalih sekolah takut kalau banyak murid tidak lulus. Tujuan bersekolah bukanlah lulus dalam Unas, melainkan lulus dalam setiap evaluasi dan “sekolah” hidup.
Unas hanyalah setitik noda perjalanan kehidupan. Hidup akan lebih indah ketika banyak noda dan bermacam warna. Kehidupan harus tetap berjalan meskipun ada ataupun tiadanya Unas. Kelulusan Unas adalah kesenangan sesaat. Baju seragam di semprot cat, ditulisi, dan ditandatangani. Semua siswa yang lulus bersuka cita. Bagaimana yang tidak lulus? Siswa gagal merasa dunia amatlah sesak dan dimanapun terasa tidak enak.
Dibalik kesenangan dan kesedihan siswa lulus ataupun tidak, masih ada sebagian masyarakat yang menangis karena tidak mendapatkan pendidikan. Masyarakat miskin yang tidak kebagian pendidikan selalu bersedih, baik ada Unas maupun tidak. Namun banyak diantara mereka lulus dalam “sekolah” hidup.

“Sekolah” Hidup
Daratan amatlah luas: gurun pasir, hutan-hutan, dan pulau-pulau membentang dari ujung barat dunia hingga timur. Luasnya daratan lebih luas lautan. Itulah gambaran samudera kehidupan yang harus di seberangi.
Kegagalan atau kelulusan Unas harus menjadi cambukan semua siswa. Mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tidak lulus bukan berarti akhir dari perjalanan hidup. Pepatah bijak mengatakan “kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda”. Tanpa adanya sebuah kegagalan tidaklah manis hidup terasa.
“Bersekolah” tidak hanya di bangku sekolah, melainkan di “bangku-bangku” milik para “guru”. Sekolah adalah tempat mencari bekal dalam mengarungi kehidupan. Semakin banyak bekal, semakin kuat pula tenaga kita untuk menempuh perjalanan jauh.
Guru harus bertindak tegas dalam “menahkodai kapal” yang melaju. Arah kapal harus disesuaikan dengan “hembusan angin”. Apabila angin bertiup dari barat ke timur, guru harus mempertimbangkan, mengikuti arah angin atau melawan. Semuanya memiliki resiko masing-masing.
Ujian nasional bagaikan angin bertiup kencang yang bisa “menenggelamkan kapal.” Nahkoda dan awak kapal lain harus sigap dalam menurunkan layar agar perahu tidak mengalami keterpurukan. Nahkoda pun tidak boleh mengambil jalan pintas dengan memotong tali layar. Pemotongan tali layar akan berakibat buruk dalam pelayaran selanjutnya.
Para guru tidak boleh memberi kunci jawaban kepada anak didiknya ketika kegiatan Unas berlangsung. Pemberian kunci jawaban sama halnya melakukan pemotongan tali layar pada kapal. Memperbaiki keadaan di sekolah jauh lebih sulit dari pada menghancurkan. Membantu mengerjakan soal Unas berarti menghancurkan reputasi guru dan sekolah bersangkutan.
Soal yang dikerjakan dalam ‘Unas hidup’ jauh lebih sulit ketimbang Unas yang dilakukan pemerintah saai ini. Semua mata pelajaran harus dipraktekkan langsung. Teori kadang tidak berlaku pada Unas hidup. Ujian tidak didahului mengerjakan soal mudah. Semua soal menjadi terlalu sulit manakala tidak ada bekal pada kehidupan sekolah sesungguhnya.
Sekolah adalah waktu yang paling menyenangkan: bercanda, tertawa, dan penuh gembira. Suatu pelajaran di sekolah bisa tidak berguna sama sekali saat di masyarakat. Perhitungan matematika yang diajarkan tidak ada artinya ketika membantu anggota masyarakat yang terkena musibah.
Sebagai “siswa” kita pun dituntut untuk berprestasi. Prestasi sebenar-benarnya adalah pengabdian sesungguhnya kepada bangsa dan negara. Tempat itulah “sekolah” hidup yang sesunggungnya*)

Rabu, 24 Februari 2010

Apa Pentingnya Kewirausahaan?

Oleh : Achmad Prafitdhin
19/07/09

Pada tanggal 17-18 Juli 2009, saya mengikuti pelatihan kewirausahaan. Diklat tersebut diadakan oleh salah satu perusahaan rokok ternama di Jawa Tengah. Trainer yang merangkap sebagai motivator diambil dari Jakarta. Pelatih itu merupakan salah satu mantan presiden direktur perusahaan asuransi dan pemilik beberapa restoran di Jakarta.
Berbagai pertanyaan muncul saat diklat berlangsung berkenaan dengan kewirausahaan. Semua peserta antusias mengikuti kegiatan hingga selesai. Acara pun diakhiri oleh renungan semacam ESQ (Emotional Spiritual Quotient).
Hal menarik dalam kegiatan diklat tersebut yaitu ketika salah satu teman penulis mengutarakan statement akhir (saat perpisahan). Sebelum perpisahan itu memang diawali oleh kegiatan renungan. Maklumlah ketika renungan itu berlangsung, pemateri menginginkan semua kekecewaan dan rasa sakit hati dibuang jauh-jauh dari hati sanubari setiap peserta. Agar bisa ‘melesat’ lebih cepat untuk menjadi pengusaha. Semua itu mengakibatkan hampir seluruh peserta menangis dan berteriak histeris.
Dalam ungkapan teman tersebut, sebagai orang muda jangan asal bisa berteriak dan menagis di sini namun lupa ketika telah ke luar dari ruangan pelatihan. Semua peserta yang merupakan mahasiswa diharapkan mampu mengubah nasib bangsa melalui wirausaha. Dengan berubahnya nasib sendiri menjadi pengusaha, berarti membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran.
Memang, wirausahawan-wirausahawan baru sangat dibutuhkan di Indonesia. Dengan penduduk terbesar ke empat dunia (sekitar 240 juta jiwa) negara ini baru bisa menelorkan 0,18% wirausahawan. Sangat jauh dibandingkan Singapura yang mampu mencetak wirausahawan lebih dari 10%. Di tahun yang sama yaitu 2008. Sehingga pantas bila negara ini sulit bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi dunia.
Adakah kekeliruan dalam proses pendidikan pada masyarakat Indonesia sampai hal itu terjadi? Ataukah kenyataan tersebut diakibatkan oleh kultur masyarakat yang sejak dahulu menginginkan pekerjaan yang dianggap save (aman)?
Pendidikan yang terlalu otoriter dan diktator bisa menyebabkan rendahnya kepercayaan diri seseorang. Selain itu, berubahnya sistem pendidikan menjadi pengajaran. Akibatnya, orang tersebut sulit mencapai self actualization (aktualisasi diri) yang menyebabkan minder, rendah diri, dan selalu takut gagal. Dan, mengapa penulis berani menyebut pendidikan negeri ini masih otoriter dan diktator?
Sampai saat ini masih banyak para guru memakai pola pengajaran yang dilakukan mengacu pada diktat dan buku-buku yang bersifat normatif. Khususnya untuk melatih kepribadian dan jati diri murid. Guru mulai sekarang harus berani menciptakan keadaan yang lain. Mumpung masih belum terlalu terlambat. Silabus sangatlah penting sebagai acuan, tetapi tidak menyebabkan aturan tersebut menjadi kaku. Diktat-diktat yang masih banyak dipakai juga akan menyebabkan seorang guru terkadang menjadi diktator (orang yang selalu terpaku pada diktat).
Kultur masyarakat yang lebih suka menjadi seorang pegawai dari pada menjadi wirausahawan perlu mendapat perhatian serius untuk mengubah mind set (pola pikir). Mungkin peran sekolah untuk mendidik kewirausahaan bisa menjadi solusi untuk mengurangi pengangguran dan kesenjangan sosial. Selain itu agar kultur masyarakat Indonesia berubah dari pola job seeker (pencari kerja) menjadi job creator (pencipta lapangan kerja).
Generasi muda harus mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Wirausaha sangat penting untuk memupuk mental pemberani. Berani kalah dan berani menang. Melalui mental tak kenal putus asa kaum muda, bangsa ini akan mampu mementiskan keadaan ekonomi yang lebih baik. Sehingga tidak ada lagi pengangguran dan kesenjangan sosial yang menyebabkan kecemburuan-kecemburuan baru di masyarakat. Masihkah masyarakat ragu dengan kewirausahaan?

Memulai dari Hal Kecil

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
11/07/09

Karakter dan sikap hidup berawal dari hal terkecil yaitu kebiasaan. Akumulasi kebiasaan mewujudkan sebuah karakter. Karakter bagaikan tabungan di bank. Selalu menampung uang siapapun. Tabungan tidak akan memberi tanda peringatan (alert) layaknya antivirus pada komputer. Baik berasal dari barang halal maupun haram. Bank tidak juga mendeteksi apakah uang yang ditabungkan bermasalah atau tidak. Semua bebas masuk dan keluar.
Dewasa ini berbagai tindak kekerasan terjadi di masyarakat. Hal itu berawal dari kebiasaan tidak sopan dalam rumah tangga. Ketika orang tua membiarkan seorang anak berkata kotor kepada saudaranya, maka bersiaplah para orang tua untuk memetik hasil buruk. Peran pendidikan harus selalu berkesinambungan atau bersinergi antara sekolah dan keluarga.
Bisa jadi seorang anak sangat baik di sekolah namun sangat kasar perangainya di rumah. Atau sebaliknya, saat di sekolah sangat kasar namun di rumah kelihatan santun karena takut tidak diberi uang saku oleh orang tuanya. Berbahagialah orang tua memiliki anak santun di sekolah dan di rumah (keluarga).
Masyarakat berasal dari keluarga: ayah, ibu, dan atau tanpa anak. Kebobrokan moral suatu bangsa selalu bercermin pada kebobrokan keluarga, demikian sebaliknya. Unsur terkecil bangsa adalah keluarga. Sehingga munafik sekali ketika moral bangsa mengalami kebobrok namun keluarga-keluarga yang berada di bangsa tersebut baik semua.
Pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anak kadang memang harus dengan ‘kekerasan.’ Tujuannya adalah membentuk karakter baik pada anak. Namun dalam mendidik, orang tua biasanya terlalu menekan jiwa si anak. Itulah yang tidak diperbolehkan. Sebab manusia memiliki batas kekuatan. Sehingga tidak sepatutnya melakukan pengajaran di luar batas kemampuannya.
Orang tua bertanggungjawab sepenuhnya atas kebobrokan mental dan moral bangsa. Dari “rahim”-nyalah lahir manusia-manusia baik dan bejat. Mereka berkewajiaban untuk selalu mengingatkan anak agar berbuat baik kepada sesama. Apapun yang dilakukan dalam keluarga akan dibawa pada kehidupan yang lebih besar, negara.
Seburuk-buruk orang tua, tidak ada yang mau anaknya terjerembab ke lembah yang sama dengan dirinya. Anak diharapkan menjadi penerus orang tua. Namun, tidaklah demikian saat orang tuannya menjadi maling, tidak mungkin anaknya juga akan dijadikan maling.
Anak pun harus tunduk dan patuh dalam hal kebaikan. Kewajiban anak untuk selalu menghargai omongan orang tuanya. Kebaikan akan tertanam pada diri dan menancap secara kuat. Manakala anak beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk waktu yang cukup lama. Hal itu amatlah berguna. Karakternya diuji ketika berada di masyarakat.
Ujian datang tidak terjadwal. Evaluasi muncul secara tiba-tiba dan sewaktu-waktu. Masalah di masyarakat muncul mendadak. Disitulah terlihat jelas sebuah karakter seseorang. Terlebih ketika menyikapi dan menyelesaikan suatu permasalahan di masyarakat. Kebiasaan sejak kanak-kanak selalu mengikuti pengambilan keputusannya.
Mulailah dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang baik. Jangan berharap hal besar akan muncul begitu saja tanpa ada awal hal kecil. Semua hal besar tidak akan tercapai kecuali berawal dari sesuatu yang kecil. Pepatah China mengatakan, “perjalanan ribuan kilometer harus dimulai dari satu langkah kaki.” Sejarah kejadian besar umat manusia berawal dari kegiatan kecil remeh yang dilakukan berulang.

Daun Lentik Sambiloto

Oleh: Achmad Prafitdhin (10/10/09)

Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) merupakan tanaman asli Indonesia. Penyebarannya terdapat di pulau Jawa dan Sumatera. Tumbuhan memiliki tipe liar banyak tumbuh musiman. Tinggi batang mencapai 40 – 90 cm banyak tumbuh di pinggir jalan dan ladang-ladang. Daunnya berwarna hijau tua sebesar jari telunjuk dan memiliki rasa pahit. Warna bunga putih-ungu muncul dari ujung dan ketiak batang. Buah berbentuk gepeng sebesar bulir padi dengan panjang 1,5 cm.
Tumbuhan musiman itu telah lama dipakai manusia sebagai obat anti bakteri dan anti radang. Menurut sejarah, sambiloto telah digunakan prajurit Kerajaan Majapahit untuk mengobati luka-luka setelah melakukan peperangan. Mereka pun sehat dan luka yang dialami lebih cepat kering.
Sambiloto memiliki andungan kimia yang berupa laktone dan flavonoid. Laktone diisolasi dari daun mengandung deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit), neoandrographoide, 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide dan homoandrographolide. Sedangkan flavonoid banyak terdapat di akar mengandung polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin dan apigenin-7, 4-dimethyl eter. Disamping kedua macam bahan kimia tersebut herba itu mengandung keton, alkana, aldehyde, kalium, kalsium, natrium, dan asam kersik.
Prof. Hembing Wijayakusuma dalam bukunya Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia menyebutkan bahwa sambiloto mampu mengobati thypus abdominalis, diare, disentri, influenza, radang saluran nafas, TBC, kencing manis, kudis, luka bakar, dan berbagai macam infeksi serta obat demam. Selain itu mampu merusak sel trophocyt dan trophoblast dan berperan pada kondensasi sitoplasma dari sel tumor.
Menurut pengalaman penulis, ayam yang diberi makan daun sambiloto memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat. Ayam pun juga menyenangi meskipun pahit. Penyakit New Castle Desease (ND) atau tetelo dan flu burung pun menjauh. Hasil akhirnya, ayam jauh lebih sehat.
Saat terkena typhus abdominalis yang mengharuskan opname di rumah sakit. Penulis pun rajin mengonsumsi daun sambiloto. Dengan cara mengambil 3-5 helai lalu dimasukkan ke dalam gelas dan dituangi air mendidih. Setelah dingin baru diminum. Dalam waktu satu minggu badan pun pulih seperti sedia kala.
Kemampuan menyembuhkan yang dimiliki herba ini menjadikan banyak orang memburu keberadaannya. Bahkan di China tanaman yang diberi nama Chuan xin lien tersebut telah diekstrak sebagai obat penyakit kanker. Menurut literatur yang pernah penulis baca, Sinse M Yusuf dari Bandung, meresepkan ekstrak sambiloto untuk mengobati penyakit kanker stadium lanjut.
Uraian tersebut di atas sedikit banyak akan membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan dana untuk pergi berobat ke rumah sakit. Karena sesungguhnya banyak tanaman berkhasiat obat yang tidak kalah mujarabnya dengan obat kimia. Selain itu tumbuhan tidak bersifat destruktif (merusak) obat kimia namun justru konstruktif (membangun) terhadap sel dan jaringan. Asalkan dengan dosis yang tepat.
Disamping itu dengan mengetahui jenis tanaman asli Nusantara, berarti telah menjaga kelestarian sejarah Indonesia. Jenis tanaman Indonesia sangat beragam. Namun sedikit literatur yang mengungkap kedahsyatan tanaman asli Negeri Seribu Pulau ini. Penulis berharap, tulisan ini mampu menambah literatur mengenai keberadaan sambiloto yang merupakan tanaman asli Indonesia. Tumbuhan dengan rasa pahit ini pun juga harus dipublikasikan agar tidak diklaim oleh negara lain demi kelestarian budaya bangsa.

Peternakan Bukan Anak Tiri

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
25/07/09

Pemilihan presiden telah usai. Pengumuman hasil pilpres pun telah digelar. SBY masih bisa berlenggang di kursi presiden sedikitnya untuk lima tahun mendatang. Bagaimana kinerja SBY untuk periode mendatang? Masihkan menganaktirikan peternakan? Apakah harga susu, telur dan daging tetap murah di tingkat peternak, sedangkan harga pakan membumbung tinggi tak terkendali? Apakah eksistensi peternakan mulai dipandang sebelah mata oleh pemerintahan SBY?
Pada krisis moneter 1998 lalu. Peternakan menjadi tumpuan hidup bangsa. Ketika perusahaan-perusahaan malakukan PHK besar-besaran. Bidang tersebut menjadi jalan alternatif dalam menyambung hidup masyarakat. Mau tidak mau masyarakat kembali terjun ke dunia peternakan atau pertanian. Peternakan pun telah mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia. Menurut Bappenas jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2009 mencapai 29,99 juta jiwa. Berarti peternakan mampu mengurangi kemiskinan sebesar 8,47%.
Kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu pun juga tidak menyurutkan para peternak untuk beralih profesi. Ketidakpastian ekonomi dunia semenjak akhir pemerintahan presiden Bush tidak terlalu berpengaruh kepada mereka. Para peternak sebenarnya malah merasa terpojokkan oleh iklim politik pemerintahan Indonesia sendiri. Diantaranya pemerintah yang telah menghapus bea impor susu, akibatnya peternak lagi-lagi terkena imbasnya karena harga susu turun dari Rp 3.800,- menjadi Rp 3.400,-
Politik kepentingan sendiri (self political interest) yang terjadi dewasa ini telah mengorbankan peternak. Para pembuat kebijakan kurang peduli nasib peternak. Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) yang direncanakan tahun 2010 pun kelihatannya akan molor. Kurangnya perhatian pemerintah ditunjukkan oleh ketidakberpihakan pemerintah yang terus mengimpor daging dari Australia. Pada tahun 2008 saja pemerintah melakukan impor daging sapi hingga mencapai 1,5 juta ton.
Sebanarnya, peternakan rakyat akan segera bangkit ketika iklim politik dan perdagangan menjanjikan. Terbukti, peternakan yang dikelola oleh rakyat mampu bertahan dari berbagai masalah yang melilit negeri ini. Saat ini peternakan sapi rakyat menguasai 90% pembibitan (breeding) di Indonesia sedangkan 10% atau sisanya oleh pemerintah dan swasta. Hal ini berarti, peternakan rakyatlah yang masih tetap eksis.
Suntikan dana dari pemerintah mungkin akan lebih merangsang pertumbuhan peternakan. Melalui program Sarjana Membangun Desa (SMD) yang dicanangkan pemerintah mulai menggaung pada tahun 2009 ini. Hal tersebut seharusnya mampu menjadi tameng kekurangan dan keterpurukan bidang peternakan Indonesia. Namun dana yang dikucurkan oleh pemerintah tidak lebih dari satu persen APBN.
SMD ditaksir hanya mengucurkan dana 0,009% atau setara dengan 90 milyar dari total APBN 2009 yang lebih dari 1000 trilyun. Apabila rata-rata dari total 600 kelompok penerima hibah pada tahun 2009 menerima 150 juta untuk semua jenis ternak (sapi perah, sapi potong, ayam lokal, kambing dan domba, dan kelinci). Memang, untuk ternak besar seperti sapi dana yang di dapat mencapai 400 juta, sedangkan ternak kecil seperti ayam hanya pada kisaran 80-150 jutaan.
Kebijakan yang memihak peternakan akan segera menumbuhkan minat dan naluri peternak untuk segera bertindak. Kini pemerintah memang mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan peternakan. Namun menurut hemat penulis belum memihak bidang peternakan dan masih memperlakukan peternakan layaknya anak tiri. Sebab hanya sedikit dana yang dikucurkan untuk menumbuhkembangkan peternakan di Indonesia. Dan sangat berbeda dibandingkan sektor lain; pendidikan, pertahanan, dan infrastruktur.
Pelaksanaan program pun masih perlu dipertanyakan. Apakah benar-benar untuk kelompok peternak atau bagi segelintir orang yang mau mengambil keuntungan dari program ini. Sebab informasi yang penulis dengar dari panitia pelaksanaan SMD, dana yang dikucurkan langsung masuk ke rekening sarjana pemohon dan bukan ke rekening kelompok peternak.
Jawa Barat kekurangan daging sapi hingga mencapai 60% tahun 2008. Sedangkan kekurangan kebutuhan daging sapi nasional disuplai dari import pemerintah yang mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2008. Kapan lagi pemerintah memikirkan peternakan negeri sendiri? Kebijakan semacam itu akan memperkaya peternak negara lain. Sedangkan peternak negara sendiri semakin terpuruk karena sapi-sapi yang dipelihara kalah bersaing dengan sapi-sapi impor.
Penulis memerhatikan peternakan di pedesaan yang memelihara sapi-sapi lokal dan sapi-sapi impor. Sapi-sapi lokal cenderung tahan penyakit dan memiliki produktivitas yang tinggi dari segi reproduksinya. Sapi lokal (Peranakan Ongole/PO) dengan 1-2 kali inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik sudah mengalami bunting, sedangkan sapi impor hingga mencapai 4-6 kali baru mengalami bunting. Hal ini tampak pada sapi-sapi Limousin hasil impor. Kebuntingannya amatlah rendah. Kejadian tersebut semakin menekan peternak, selain harga pakan yang mahal.
Nasib sapi asli Indonesia tidak sebagus sapi-sapi impor. Sapi Bali merupakan salah satu ternak asli Indonesia. Notabene tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kini malah dilirik Malaysia. Sapi Bali merupakan plasma nutfah asli dari pulau Bali.
Jika tidak ditangani serius, tidak menutup kemungkinan bahwa kelak pengekspor sapi Bali terbesar adalah Malaysia dengan disertai hak paten sekaligus. Sebab, sapi tersebut memiliki banyak kelebihan diantaranya persentase karkas yang tinggi mencapai 57% dan kadar lemak dalam daging yang rendah (2-13%). Bandingkan dengan kadar lemak sapi Limousin yang bisa mencapai 22%.
Peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi pada peternak. Target swasembada daging tidak akan segera terwujud, apabila pengambil kebijakan masih terbuai dalam menciptakan produk murah, tetapi mematikan peternak. Peternak akan berpikir dua kali untuk memproduksi jika harga jual ternyata rendah. Pendidikan beternak akan merubah pemahaman (mind set) para peternak. Agar memelihara ternak yang memberikan keuntungan maksimal. Sebab, belum tentu ternak impor akan memberikan keuntungan maksimal, karena hewan tersebut masih perlu beradaptasi dengan lingkungan tropis laiknya Indonesia.
Memelihara ternak lokal berarti ikut mencintai produk dalam negeri. Cinta produk dalam negeri adalah harga mati. Agar bangsa ini segera bangkit dari tidur panjangnya, peternakan. Bangkitlah peternakan Indonesia!