Senin, 22 Maret 2010

Globalisasi dan Jati Diri Bangsa

Oleh: Achmad Prafitdhin*)

Bangsa besar adalah bangsa yang memiliki jati diri luhur dan beradab. Sopan dalam bertingkah laku dan santun dalam bertutur kata.

Tidak demikian halnya saat globalisasi layaknya sekarang ini. Jati diri bangsa yang konon beradab, berbudi pekerti luhur, sopan santun dan kekeluargaan hilang seiring munculnya jaman global. Jaman ini telah merusak kepribadian sebagian besar generasi penerus bangsa.

Salah satu korban dampak globalisasi adalah anak muda, yang kini cenderung arogan, sombong, dan mau menang sendiri. Mereka menjadi kurang sopan kepada orang tua dan guru. Kekhawatiran itu terus diperparah oleh munculnya berbagai kejadian tawuran antar pelajar. Tawuran yang terjadi di mana-mana merupakan salah satu indikasi rusaknya moral generasi muda penerus bangsa.

Siapa yang bersalah oleh banyaknya tawuran antar sekolah dan antar pelajar itu? Peran orang tua dan guru menjadi pertaruhan layaknya sebuah kartu domino. Tidak dijatuhkan kalah, dijatuhkan pun juga akan kalah.

Demokrasi cenderung menghilangkan sifat gotong royong yang telah lama tertanam pada jiwa bangsa ini. Demokrasi lebih mementingkan golongan sendiri tanpa sedikit pun memikirkan pihak lain.

Semua orang seakan lupa atau malu dengan musyawarah. Mereka lebih senang memutuskan masalah dengan suara terbanyak atau voting. Siapa yang memiliki jumlah anggota yang banyaklah menjadi pemenang. Jika para pendiri bangsa dahulu membuat negara ini dengan musyawarah, sekarang ini menjadi tidak lagi demikian. Banyak orang semakin suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Musyawarah yang sekian lama tertanam pada jiwa luhur bangsa Indonesia, kini menghilang tersapu dan tergerus oleh ombak golbalisasi. Rapat lebih memutuskan masalah melalui jalan demokrasi, tanpa lagi mementingkan musyawarah.

Bangsa yang terkenal ramah dan berjati diri luhur luntur oleh keadaan. Demo anarkhis terjadi dimana-mana. Masyarakat tidak lagi percaya kepada para ulama dan pemimpinnya. Mereka cenderung memercayai uang dan kedudukan.

Merunut kebalakang oleh banyaknya kejadian yang jauh dari jati diri bangsa. Informasilah yang seharusnya banyak disalahkan. Peran media massa akan menjadi pertaruhan. Media massa harus bertanggungjawab atas rusaknya moral dan jati diri bangsa, selain memberi informasi, media massa seharusnya mampu menciptakan berita yang berkarakter dan bertanggungjawab. Tanpa harus menciderai jati diri bangsa yang telah mengakar kuat, namun hal ini kini mulai pudar seiring kebebasan.

Solusi yang mampu memperlambat laju penggerusan moral kepribadian dan jati diri bangsa adalah dengan terus menanamkan jiwa nasionalisme di segala bidang. Mulai cinta produk dalam negeri, kesenian dan budaya, bahasa, dan yang harus menjadi titik kulminasi adalah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dengan jati diri yang berkarakter luhur. Media massa tentunya sebagai transformator bagi terciptanya keadaan ini. Agar jati diri bangsa dengan jiwa luhur kembali pulih dari penyakit kronis yang mulai menggerogoti setiap organ tubuhnya.

NKRI dan Penyakit Senjanya

Oleh : Achmad Prafitdhin
14/08/09

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menginjak usia 64 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Agustus , Indonesia menjadi negara yang makin “tua”. Di usia senjanya, “tubuh” semakin rentan oleh gerogotan “penyakit”. Baik penyakit dari dalam oleh rapuhnya ‘sel-sel tubuh’ maupun dari luar yang berupa invasi “virus dan cuaca ekstrem”. Namun, diumur yang tua ini, telah semestinya pengalaman selalu menyertai perjalanan hidup. Banyak “suka dan duka” telah menghampiri. Penyakit pun akan lebih mudah terdeteksi dan teratasi.

Sel ibarat individu masyarakat, sedangkan tubuh bagaikan NKRI. Individu masyarakat merupakan sel terkecil penyusun negara. Hakekatnya, sel dan organ/gabungan sel-sel adalah pelaku “metabolisme”. Energi tercipta dari perombakan-perombakan pada tingkatan tersebut. Apabila salah satu sel tidak mampu bekerja dengan baik maka metabolisme akan terganggu. Apalagi kalau salah satu sel melakukan “bunuh diri” maka sama halnya membunuh tubuh secara keseluruhan.

Seperti halnya manusia, NKRI juga mengalami peralihan masa. Masa lahir pada Proklamasi 17 Agustus 1945, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Namun, kita tidak akan rela bangsa dan negara ini mengalami masa kematian. Segenap daya dan upaya dikerahkan untuk mengobati penyakit yang kian membabi buta.

Banyak ancaman penyakit yang ketika masih dalam usia “muda” dianggap biasa dan mudah “dibasmi”. Tetapi ternyata, diumur senjanya berubah menjadi “sel kanker komplek”. Mengganas dan meradang di dalam maupun di permukaan tubuh. Terorisme, ancaman disintegrasi, kemiskinan, degradasi moral dan budaya bangsa. Kesemuanya adalah ancaman penyakit yang harus dibasmi oleh “dokter mumpuni”. Mereka adalah para guru.

Para guru selayaknya konsisten dengan apa yang menjadi tugasnya. Tugas utama mereka sesuai dengan tujuan nasional negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Seiring kecerdasan dan kemapanan ilmu masyarakat, maka penyakit pun bisa dicegah dan diatasi. Pengetahuan dalam mengonsumsi “suplemen” penambah tenaga semakin digalakkan. Dari segi psikologi dan kejiwaan, sugesti-sugesti untuk berfikir dan bertindak lebih positif ditransferkan. Oleh sebab itu, kesehatan prima akan menolak datangnya sel kanker komplek tersebut.

Ceremoni kemerdekaan bukan ajang hura-hura, melainkan adalah wahana untuk mawas diri dan berbenah diri. Agar “kesehatan” selalu terjaga. Sebab, mempertahankan kesehatan tubuh jauh lebih penting dari pada mengupayakan “mencari pekerjaan baru”.

Karnaval dan perayaan kemeriahan hari kemerdekaan lainnya memang pantas dilakukan. Selalu ingat hari kemerdekaan akan mengingatkan pada perjuangan para pahlawan. “Perjuangan sel” terdahulu dalam memerangi penyakit yang mencoba menghinggapi tubuhnya.

Ketika energi cinta, perasaan, kesenangan, kebahagiaan dan suka cita menyatu oleh buaian hari kemerdekaan. Itulah waktu paling tepat untuk menghipnotis dan mendoktrin seluruh individu masyarakat untuk kembali menjunjung tinggi kecintaannya pada negara – nasionalisme. Melalui itu pun kejadian-kejadian buruk masa lalu direnungkan bersama. Instrospeksi diri pencegahan pada hal sama terulang untuk kedua kalinya.

Permusuhan sesama anak bangsa harus dihentikan. Hal itu akan menguras energi, waktu dan biaya besar. Energi akan terbuang percuma hanya untuk memusuhi teman dalam “tubuh sendiri”. Waktu pembangunan akan terhenti oleh kekacauan, permasalahan, ketidaksinkronan “sel dan organ”. Biaya besar akan dikeluarkan untuk mengobati bagian tubuh sakit tersebut.

Oleh sebab itu, gotong-royong dan integrasi antar sel dan organ dalam tubuh harus dilakukan. Tujuan akhirnya, mampu melindungi dan bahu membahu membentuk tubuh kuat, tangkas dan cerdas. Sehingga “tubuh” mampu berkesinambungan dalam mengangkat beban yang semakin lama kian berat. Penyakit pun menjauh dari tubuh, meski telah memasuki usia senja berkat harmonisnya kerja sel-sel. Jaya NKRI-ku, jaya Indonesia-ku!

Guru dan Degradasi Moral

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Budaya sopan santun bangsa ini kian lama menghilang seiring perkembangan jaman globalisasi dan kapitalisasi. Hampir seluruh aktivitas didasarkan pada jumlah uang dan keuntungan yang diperoleh.

Di satu pihak sekolah menambah jam pengajaran kewirausahaan. Agar para murid bisa ‘mandiri dan menghasilkan banyak uang’ ketika mereka lulus. Alih-alih tidak memberatkan negara. Di lain pihak sekolah tidak pula menambah atau bahkan mengurangi pendidikan moral dan budi pekerti (agama dan pendidikan dengan basic moral lainnya). Akibatnya, banyak muncul wirausahawan baru, namun ‘menghalalkan segala cara’ untuk mendapatkan kekayaan. Seperti KKN untuk pengadaan proyek-proyek dan fasilitas umum.

Dahulu guru dijadikan panutan, digugu (dianut) dan ditiru (dicontoh). Kini tidak lagi demikian. Sekarang guru hanya dijadikan suatu penyampai informasi. Bukan lagi seorang pendidik tetapi seorang pengajar. Tidak lagi memberikan contoh ‘bekal budi’ tetapi mengajarkan ‘teori berbudi’.

Apabila dalam penyampaian ‘teori’ oleh guru, anak didik merasa tidak puas, maka mereka akan mencari sendiri informasi yang diinginkan. Efeknya, fungsi dan tanggung jawab guru sebagai filter tidak ada bahkan cenderung sia-sia. Tidak ada lagi saringan. Baik buruknya informasi akan diserap apa adanya.

Ilmu yang ditransferkan guru kepada murid akan diterima kurang lebih sebesar 40 persen. Namun, bagaimana jadinya jika tansfer tersebut berupa ilmu pemerkosaan? Ironis sekali saat ditayangkan di beberapa media televisi, ada ‘guru’ melakukan pemerkosaan terhadap muridnya sendiri. Adalagi ‘guru’ yang nyambi ngrampok. Atau, kasus terakhir adalah guru agama yang menyudutkan korek api kepada siswanya. Yang katanya, untuk memberikan pelajaran tentang akherat. Bagaimana dampak kepada murid yang lain? Bukankah itu juga merupakan sebuah “ilmu”?

Salah satu pihak ‘bertanggungjawab’ atas rusaknya etika, moral dan kepribadian bangsa adalah para guru dan sekolah. Sekolah memang mengawasi murid hanya enam sampai delapan jam setiap hari , tetapi ‘prinsip dasar kehidupan berada di pundak mereka’.

Bukan maksud penulis untuk memojokkan para guru dan sekolah. Tetapi kalau gurunya saja bertindak demikian apalagi muridnya. Wajar jika moral bangsa ini lambat laun mengalami degradasi/penurunan yang tidak menutup kemingkinan akan mengalami kehancuran.

Guru tidak lagi menjadi tumpuan murid dalam berkarya. Orientasi guru, kini adalah suatu pengakuan dari masyarakat akan gelar kesarjanaan atau jumlah gaji yang diterima. Penulis sadar bahwa tidak semua guru demikian. Banyak guru-guru yang masih memegang teguh sumpah dan janjinya untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.

Bangsa ini memerlukan guru-guru tangguh. Mereka diharapkan bisa mejadi penggerak ”mesin jenset moral.” Kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan segera pulih saat para guru memutar mesin. Mesin tidak akan hidup dalam satu kali putaran tetapi beberapa putaran hingga dirasa “jenset bisa berputar sendiri.”

Mesin dengan kapasitas daya 240 juta watt tidak akan ada artinya manakala terdapat sejumlah kabel yang putus. Daya tersebut setara dengan jumlah peduduk Indonesia saat ini. Murid laksana seutas kabel yang menentukan hidup atau matinya ‘lampu moral di masa selanjutnya’. Sekolah merupakan pembungkus kabel. ”Bagaimana sekolah mampu melindungi daya sebesar itu kalau memang hanya terbuat dari plastik bekas?” Sehingga sekolah seharusnya dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.

Cahaya moral segera menerangi seisi negeri saat ‘mesin’ dihidupkan. Kapankah mesin itu akan dinyalakan? Akankah dengan kucuran dana 20 persen dari pemerintah, ”kabel-kabel” itu akan mampu dan kuat menyangga beban daya sebesar itu? Ataukah masih tetap seperti sekarang ini?

Belajar dari Anak Ayam

Oleh : Achmad Prafitdhin

Duduk di depan pintu dapur kos merupakan kebiasaan pagi saya. Sembari menunggu antrian mandi. Maklum kamar mandi kos saya cuma dua dan itupun dipakai oleh sembilan orang penghuni. Letaknya dekat dengan kandang ayam miliki tetangga.

Setelah kelelahan pada malam harinya karena mengerjakan banyak tugas kuliah yang menumpuk. Pagi itu rasanya berat untuk beranjak dari tempat duduk. Tak sadar saya melihat empat ekor anak ayam yang sedang mencari laron (rayap bersayap) dengan sangat antusias. Saya pun terhentak dan terbelalak sejenak. Pikiran saya melayang. Semangat hidup rasanya kembali pulih. Meskipun pagi nan dingin diiringi rintikan air hujan semakin membuat orang menjadi malas.

Semangat saya muncul berkat ‘kelakuan’ ayam yang penuh suka cita menyambut ‘kelahiran’ hari baru. Tanpa rasa malas sama sekali, pagi dingin itu mereka gunakan untuk berlarian kesana kemari mengejar laron yang terbang dan jatuh ke tanah. Empat ekor ayam itupun akhirnya kenyang karena temboloknya terisi laron dalam jumlah banyak.

Antusias binatang kecil tak berakal menjadi pelajaran tersendiri. Sambil berbicara rendah, seorang teman membentak saya dari belakang. Saya katakan kepadanya, kalau anak ayam saja, tanpa akal, tanpa induk/orang tua dan tanpa ilmu mampu menghadapi hidup dengan penuh optimis. Bagaimana kita manusia yang dikaruniai akal dan ilmu bahkan orang tua yang senantiasa membimbing setiap langkah menuju peraduan hidup. Tentunya kita harus lebih optimis dari anak ayam yang memang dari lahir sudah tidak mengenal induknya karena ditetaskan dalam mesin penetas.

Sebagai manusia terkadang kita lupa bahwa Tuhan senantiasa memberikan rejeki. Rejeki itu harus kita usahakan. Berjalan, berlari dan mengayuh sepeda patut dilakukan untuk mendapatkan semua itu. Rejeki bukan hanya untuk manusia. Bahkan binatang telah diberi rejaki oleh Tuhan sebagai Sunnatulloh. Namun, tak lepas dari perbuatan mengusahakannya. Bagaikan anak ayam tersebut, mereka berjalan dan berlari demi mendapatkan tujuan hidupnya, mendapatkan seekor demi seekor laron, hingga temboloknya penuh terisi.

Pelajaran hidup lain dari anak ayam tentang penguasaan harta. Pepatah Jawa mengatakan “enek awan enek pangan”. ( Ada siang ada makanan/rejeki). Bila ditelaah, kebijaksanaan seperti itu membuat kita lebih optimis menghadapi jengkal demi jengkal hidup ini. Manusia tidak perlu saling membunuh satu sama lainnya. Negara besar yang kuat tidak perlu menginvasi Negara kecil yang lemah. Hanya untuk berebut makan. Semua sudah digariskan Tuhan. Tinggal bagaimana kita mengusahakan demi kemaslahatan umat.

Jika saja salah satu anak ayam tersebut tidak terima karena kekecewaannya kepada anak ayam yang lain. Tentulah tembolok temannya akan dipatuk dan dikeluarkan seluruh isi laron yang telah dimakannya. Tetapi sepertinya mereka paham, kalau temboloknya telah penuh dengan laron, maka mereka pun tidak lagi makan. Sehingga membiarkan temannya yang lain untuk menyantap laron tersebut.

Apabila kita tidak menghiraukan ukuran “tembolok” yang kita miliki dan meneruskan untuk tetap makan. Sedangkan orang lain sama sekali belum makan. Maka bersiaplah untuk segera ‘dipatuk’ teman sendiri. Apalah artinya kalau “tembolok” yang kita miliki penuh tapi akhirnya ‘dikanibali’ teman sendiri yang pada akhirnya membuat kita mati. Memang lebih baik saling berbagi agar hidup lebih mempunyai arti. Sehingga orang lain pun ikut menikmati hidupnya dengan penuh optimis. Sebab mereka merasa bahwa “temboloknya” juga difikirkan orang lain. Selain itu, ada sebagian harta kita yang merupakan hak orang lain. Biarlah orang lain juga turut menikmati sebagian harta itu. Apakah gara-gara salah mencari kekayaan membuat kita dihujat orang orang? Untuk sepatutnya direnungkan.

Bahasa Manusia

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Bahasa manusia sangatlah beragam. Menurut Ferdinand de Saussure seorang sarjana linguistik Swiss pada awal abad ke- 20 mendefinisikan bahasa sebagai sistem isyarat. Sedangkan John B. Carol juga meninjau bahasa dari sudut linguistik yang merupakan sistem bunyi vokal berstruktur dan urutan-urutan bunyi. Selain itu masih banyak ertikulasi bahasa menurut ahli-ahli bahasa seperti bahasa adalah tabiat, sintesis bunyi, dan lambang petuturan.

Seperti halnya arti bahasa sendiri, bahasa pun berkembang bersama perkembangan manusia dalam masyarakat. Sehingga kosakata pun tidak akan pernah berkurang, justru semakin bertambah seiring pemikiran dan perkembangan manusia.

Bahasa – verbal – tercipta dari suatu kesepakatan manusia. Sedangkan bahasa tubuh dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan yang bersifat alamiah dan insting. Pokok bahasa berawal dari semenjak manusia dilahirkan.

Sejak kelahiran seorang bayi pun bahasa telah muncul mengiringi, yaitu bahasa tangisan. Saat bayi, bahasa yang muncul hanya tangisan. Rasa lapar, haus dan setelah buang air, sakit dan keadaan yang menyebabkan dia tidak merasa nyaman akan disusul dengan tangisan.

Saat tangisan tidak muncul dari mulut seorang bayi, dokter akan segera mengambil tindakan dengan menjungkir bayi (kepala berada dibawah) hingga ia menangis. Karena mengingat pentingnya seorang anak manusia ketika baru dilahirkan menangis untuk menyambut dunia, salain itu agar orang disekelilingnya mengetahui keadaannya meskipun sangat minim.

Di usia batita (bawah tiga tahun), seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh bayi, bahasa pun ikut berkembang. Bahasa yang semula menggunakan bahasa tangisan berangsur-angsur berkembang dengan mengenal bahasa lain; bapak, ibuk, maem, mimik, dan tertawa. Tertawa adalah salah satu bahasa tubuh anak yang harus dipahami. Tertawa si anak mencerminkan bahwa ia merasa nyaman, bahagia dan senang oleh orang yang berada di sekitarnya.

Menginjak usia tiga tahun kosakata anak mulai bertambah. Penyebutan kata-kata mulai jelas. Tidak lagi seperti ketika masih usia batita. Bahkan ia mulai mampu merangkai sebuah kalimat. “Ibuk maem tempe ” atau “Ibuk mimik susu”. Bahasa yang digunakan semakin komplek dan beragam beriringan dengan pertambahan umur.

Di umur lima tahun, mengharuskannya mampu berbicara dengan baik, meskipun masih belum jelas karena cedhal. Tetapi bahasanya terus berkembang. Ia bisa meminta bantuan, mengungkapkan rasa sakit yang dideritanya, dan bercerita atas apa yang telah dilakukan saat di sekolah.

Usia terus bertambah. Pengetahuan pun semakin memperkaya pemikiran. Seiring perkembangan pendidikan di sekolah; SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Bahasa yang digunakan bukan hanya bahasa ibu. Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, dan lain sebagainya. Bahasa yang saat bayi dan kanak-kanak tidak pernah diketahui kini mulai dipelajari dan dipraktekkan.

Semakin bertambahnya umur dan tingkat pendidikan, semakin berkembang pula ragam kosakata yang dimiliki. Terkadang menjadikan seseorang sering kali merangkai kata dan bermain kata-kata.

Seiring dengan proses belajar aneka ragam bahasa verbal, manusia juga belajar tubuh. Namun bahasa tubuh biasanya muncul begitu saja, tanpa ada proses belajar. Itu adalah insting berbahasa yang dimiliki manusia.

Pengungkapan sesuatu terkadang tidak membutuhkan bahasa verbal, namun hanya dengan pandangan mata, senggolan tangan, anggukan kepala, tepukan tangan, dan mimik wajah dan tubuh. Bahasa tubuh sangat terlihat pada orang tuna wicara. Mereka belajar menggunakan sisi lain dari tubuhnya – mulut – untuk tetap bersosialisasi dengan manusia lainnya. Tidak ada batasan bahasa pada untuk tidak bersosialisasi sesama manusia. Semua akan diterima di masyarakat dengan sisi baik dan buruknya.

Minggu, 21 Maret 2010

Panas Bukan Halangan, Hujan Bukan Rintangan

Oleh: Achmad Prafitdhin
(21/7/09)

Pepatah bilang jangan mudah menyerah dengan keadaan. Wirausaha harus ditekuni dengan sepenuh jiwa dan raga atau sesuai mind, body and soul kata orang bilang agar tubuh kita sehat.
Apabila menginginkan kesehatan dalam berfikir, maka setiap hari otak haruslah diasah. Otak diasah dengan berbagai cara. Diantaranya memikirkan kewirausahaan. Kegiatan, pola-pola penjualan, dan pola tingkah laku konsumen.
Otak yang didiamkan tanpa ada batu granit yang digunakan mengasah maka semakin lama otak pun akan berkarat dan lama-kelamaan menjadi tumpul. Disinilah peran kita sebagai manusia yang dikaruniai otak untuk berfikir yang membedakan dengan mahkluk lain di muka bumi.
Memikirkan pekerjaan apa untuk satu hari, satu minggu atau satu bulan kedepan merupakan cara mengasah otak yang paling efektif. Paling tidak agar otak tidak diam. Laiknya organ tubuh yang lain organ vital itu perlu exercise juga. Kalau Einstein menggunakan otaknya hanya 10 persen dari total volume otaknya, maka berapa kita telah menggunakan barang lunak tersebut?
Seperti halnya otak dan otot tubuh, wirausaha perlu latihan dari sedini mungkin. Tujuan utamanya adalah agar seluruh organ gerak dan jiwa bisa menyatu. Dalam hal ini adalah keterkaitan kemampuan, keterampilan, dan keahlian yang muncul tidak secara tiba-tiba. Semuanya muncul dengan latihan tekun tanpa kenal putus asa. Bahkan tak kenal waktu dan usia seseorang. Panas tidak boleh menjadi halangan, hujan pun tidak akan menjadi rintangan untuk berkarya menciptakan inovasi tanpa henti.
Dosen penulis bilang kita harus adaptable jika ingin menjadi seorang wirausahawan sukses. Dimaksud disini adalah adaptasi secara cepat dan tepat diperlukan seorang usahawan. Baik adaptasi untuk menciptakan teknologi, pasar, dan kesenanagan konsumen serta inovasi. Semua harus dibidik dengan teropong ilmu yang mumpuni.
Banyak dari manusia Indonesia yang masih suka dengan kerja dibawah tekanan. Namun sayangnya mereka yang menyukai tantangan itu umumnya bekerja untuk orang lain. Bagaimana jika pekerjaan yang meraka lakukan di bawah tekanan namun untuk dirinya sendiri? Hasilnya pasti akan memuaskan batin.
Sebenarnya wirausahawan adalah orang yang mengusahakan sesuatu untuk dirinya sendiri yang berguna bagi orang lain. Para pengusaha adalah wirausahawan. Wirausahawan tidak sebatas pada orang yang bekerja untuk diri sendiri, tetapi lebih dititik beratkan pada kemampuan mengolah dirinya sendiri secara maksimal tanpa membutuhkan orang lain.
Seorang usahawan tidak patut menyerah kepada keadaan. baik itu keadaan yang menyenangkan hatinya ataupun yang menyedihkan sekalipun. Hal itu sangat erat dengan keuntungan dan kerugian dalam berwirausaha. Seorang wirausahawan harus siap untung dan siap rugi. Oleh sebab itu, sebelum menjadi seorang usahawan perlulah kiranya gemblengan mental.
Mereka pantang menyerah oleh terpaan badai hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Rintangan dan halangan sudah di depan mata. Tetapi semua jalan untuk menyelesaikan telah disediakan Tuhan bagi orang yang mau berusaha untuk mencarinya.

Hidup Hanya Untuk Berdebat

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
28/07/09

Sebagai civitas akademika penulis tahu betul tentang masalah yang menyangkut perbedaan pendapat di kalangan para mahasiswa dan para dosen. Terkadang bahkan mahasiswa memberikan pertanyaan pada para dosennya dengan setengah memberikan tes. Apakah dia bisa menjawab suatu masalah “A” atau tidak. Apabila dia bisa menjawab berarti dianggap mampu dan bisa diikuti kuliah dan pernyataannya. Kalau tidak, terkadang mahasiswa enggan dan sering merasa bosan atas apa yang dijelaskannya selama masa perkuliahan.
Bahkan tak jarang mahasiswa seperti penulis berdebat dengan dosen pengajar. Jika stetmennya tidak bisa diterima bahkan cenderung bertolak belakang, perdebatan menjadi tidak terelakkan lagi. Tak jarang dosenpun juga mendebat mahasiswanya. Tetapi hal ini masih dianggap wajar. Karena dari segi keilmuan dosen sampai hari ini masih dianggap lebih pandai dari pada mahasiswa.
Tidak sampai di situ saja. Perdebatan terus berlanjut sampai pada ujian-ujian lisan, seminar penelitian, dan lain sebagainya. Latar belakang perdebatan umumnya adalah mempertahankan pendapat. Di kalangan mahasiswa terdapat prinsip lebih baik berbicara salah dari pada tidak berani mengungkapkan pendapatnya. Hal inilah yang terkadang sulit diluruskan. Karena mind set terlalu dalam telah menjerumuskan. Sehingga apabila terdapat hal-hal baru tanpa unsur ilmiah yang mereka tidak ketahui maka dikatakan omong kosong dan bualan.
Perdebatan tidak hanya melingkupi kalangan mahasiswa dengan pihak dosen saja. Seringkali debat juga menginfeksi mahasiswa dengan mahasiswa. Kejadian itu sangatlah tampak ketika terjadi Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). LPJ selama menjabat menjadi ketua dan anggota organisasi menjadi ajang perdebatan tanpa hasil. Merekapun sering mempersoalkan sejumlah uang yang dihabiskan selama masa jabatan. Sehingga mengabaikan inti dari LPJ itu sendiri yaitu menyampaikan kinerjanya selama menjabat dan apa yang perlu menjadi koreksi sehingga lebih baik lagi di masa mendatang. Karena biasanya sejumlah uang yang dihabiskan telah disetujui oleh Pembantu Dekan III.
Kebiasaan menyalahkan orang lain ternyata masih melekat di hampir sebagian besar mahasiswa. Solusi menjadi sulit ditemukan ketika perdebatan menggunakan emosi. Memang, emosi menjadi tak terelakkan ketika pendapat kita dimentahkan orang lain. Sehingga dalam perdebatan perlu menggunakan kepala dingin sehingga solusi akan cepat didapatkan.
Mengakui kebenaran pendapat dari satu pihak lawan pun masih sangat sulit dilakukan di kalangan mahasiswa. Dosen terkadang justru menjerumuskan. Mereka tak jarang yang hanya memberikan pertanyaan menjebak tanpa memberikan solusi pemecahan masalahnya. Hal itu menyebabkan sikap skeptis sempit muncul tak terelakkan pada dosen yang bersangkutan.
Sempat saya mengutarakan pernyataan saya di depan dosen dan mahasiswa yang sedang berdebat tanpa solusi dengan perkataan, “hidup kok hanya untuk berdebat, dan berdebat kok untuk hidup.” Artinya, hidup janganlah digunakan sebagai tempat berdebat saja dan janganlah mencari hidup/makan dari berdebat layaknya tim sukses kampanya presiden. Penulis memiliki paham arti mencari solusi jawaban tidak harus dengan berdebat. Malah berdebat seringkali menimbulkan masalah baru dan menjadikan orang lain marah akibat emosi tak terkendalinya.
Pada akhirnya janganlah berdebat hanya untuk mempertahankan pendapat kita yang belum tentu benar adanya. Carilah solusi terbaik untuk menyelesaikan perbedaan, meskipun perbedaan tidak mungkin bisa dihindarkan. Hidup layaknya untuk saling mengisi, tanpa harus menciderai dan menyakiti. Sehingga janganlah hidup hanya untuk berdebat yang tidak ada pangkalnya. Ingat, bukan hanya berdebat, tetapi masih banyak lagi yang harus dikerjakan.

Debat

Oleh : Achmad Prafitdhin
17/08/09

Akhir-akhir ini banyak acara televisi yang menampilkan dua sisi yang berbeda. Perbedaan tersebut ditampilkan dalam sebuah acara debat. Moderator bertindak sebagai penengah manakala debat tidak berujung. Selain menghindari debat kusir tanpa pangkal.
Terlebih, sangat jelas perdebatan antar kubu tim sukses pilpres di televisi beberapa waktu lalu. Tiga tim sukses diundang, di dudukkan dalam satu “meja”. Semua mencoba mengungkapkan pernyataannya. Lainnya menyanggah dan berargumen. Sorak penonton pun menambah semangat dalam perdebatan tersebut.
Debat menurut Wikipedia merupakan “kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan”. Sehingga esensi dari debat adalah munculnya solusi dan bukan masalah baru.
Sama seperti halnya tim kampanye. Calon presiden pun tak kalah ketinggalan. Mereka beradu “nyali” dalam acara yang sama. Debat Capres. Walaupun Presiden Indonesia telah terpilih namun banyak pelajaran yang dapat diambil dari debat mereka beberapa waktu lalu. Sehingga rakyat tahu bahwa para pemimpinnya sebenarnya akur-akur saja.
Manusia biasa menyalurkan argumentasi dan pemikirannya melalui debat. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Kalau binatang menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan saling bunuh. Sedangkan manusia yang memiliki akal budi melakukannya dengan debat. Meskipun kadang juga tidak terkontrol dengan baik.
Di rumah kost pun penulis juga tak jarang melakukan debat dengan teman. Semua demi mengasah cara berbicara, berfikir, dan menjaga emosi di depan umum atau setidaknya di lingkup kecil yaitu rumah. Dengan terasahnya tiga hal tersebut akan lebih membuat kita cerdas dan produktif serta bertindak cepat.
Memang, perbedaan tidak dapat disatukan. Tetapi dapat disamakan dalam hal persepsi, keinginan dan tujuan. Salah satunya berawal dari sebuah perdebatan. Namun, penulis tidak mengatakan bisa diidentikkan.
Sejak jaman Yunani dan Romawi kuno, para filsuf dan pemikirnya telah melakukan debat untuk melakukan tukar pikiran. Salah satunya adalah Aristoteles. Ia menggunakan pendekatan pemecahan masalah dari pada saling olok dalam debat. Ilmu pun berkembang dengan sempurna tanpa batas-batas.
Debat bisa dianggap baik jika dalam batas-batas kewajaran. Tetapi akan menjelma dalam keburukan ketika masing-masing pihak kukuh pada “pemikiran sempitnya”. Tujuan debat sendiri, mencoba mengaitkan perbedaan satu dengan yang lain. Dari perbedaan tersebut akan muncul solusi.
Jiwa besar akan muncul dari debat. Salah satu pihak menerima pendapat pihak lain. Pihak lain pun dengan legowo bisa menerima dan saling koreksi. Sehingga debat bukan seperti oleh raga tarik tambang.
Dalam tarik tambang, tim tidak akan menang jika belum menjatuhkan pihak lawan. Sebenarnya esensi debat bukan seperti itu. Tidak di tarik ke kanan ataupun ke kiri. Debat bukan hal keroyokan seperti itu. Mana yang banyak teman akan menang. Melainkan agar bisa menempatkan sesuai tempatnya masing-masing.
Kalaupun banyak disaksikan di acara televisi masih seperti “permainan tarik tambang”. Hal itulah yang seharusnya diubah dan diluruskan. Pendidikan debat dengan menjunjung tinggi perbedaan pendapat patut dihormati.

Urgensi Pemakaian Pupuk Kompos

Oleh : Achmad Prafitdhin
26/10/09)

Kualitas tanah yang semakin buruk dikhawatirkan akan menekan produktivitas tanaman. Hal tersebut mendorong DR Indah Prihartini, dari Lembaga Pengabdian Masyarakat Universita Muhammadiyah Malang, melakukan sosialisasi di Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang, yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) setempat.mengenai pemanfaatan kotoran ternak sebagai pengganti pupuk kimia atau yang sering disebut Bokasi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati).
Sebelum melangkah lebih jauh perlu diketahui pembaca bahwa pada dasarnya semua kotoran mampu didegradasi (dirombak) oleh bakteri. Di alam terdapat banyak bakteri yang mampu mendegradasi bahan-bahan komplek menjadi bahan yang lebih sederhana sehingga mampu diserap oleh tanaman. Sebagai contoh, bakteri Rhizopus oligosporus mampu merombak asam pitat yang terdapat di bekatul, sehingga kandungan Ca dan P pada bekatul semakin meningkat. Bakteri selulolitik mampu merombak selulosa dan lignolitik yang mampu merombak lignin (lapisan kaca) pada tanaman padi, jagung, dan tebu sehingga mudah hancur.
Sosialisasi pembuatan Bokasi pada para petani sangat penting. Mengingat akhir-akhir ini harga pupuk yang semakin mahal dan sering terjadi kelangkaan. Alternatif yang muncul salah satunya adalah membuat pupuk organik sendiri. Dalam penyampaian materinya, Indah menyatakan, bahwa pupuk organik dapat menggantikan pupuk kimia hingga 30%. Kenyataan bahwa hasil panen akan relatif menurun pada panen pertama bisa saja terjadi.
Memang, sifat pupuk organik tidak dapat langsung secara cepat diserap oleh tanaman layaknya pupuk kimia. Pemberian harus bertahap, hingga menghasilkan pH 7 (tingkat keasaman yang netral). Pengetesan dengan mudah dan murah bisa menggunakan kertas lakmus yang banyak dijual di toko-toko pertanian atau apotek. Jika warna merah menunjukkan warna yang cenderung kearah pH asam sedangkan biru mennunjukkan pH basa.
Kelebihan penggunaan pupuk organik adalah memperbaiki dan memulihkan struktur tanah yang semakin asam karena terus menerus diberi pupuk kimia. Hal itu ditunjukkan dengan ikatan air yang berada di antara butiran tanah. Air pun semakin lama mampu tersimpan dalam tanah. Sehingga pH netral bisa didapatkan.
Banyak macam biakan bakteri starter yang biasa digunakan para petani untuk membuat Bokasi. Antara lain yaitu EM4, Starbio, Super Degra dan lain-lain. Jenis tersebut pun sangat banyak tersedia di toko-toko pertanian. Melalui starter tersebut pembuatan Bokasi semakin cepat.
Pada proses normal, kotoran ternak mampu terurai secara sempurna yang ditandai dengan tidak berbau, berwarna gelap, dan jika dipegang tidak menggumpal. Waktu normal tanpa perlakuan sampai 4-6 bulan. Namun dengan menggunakan bakteri starter, pupuk organik dapat diperoleh dalam waktu kurang dari satu bulan, bahkan dengan produk yang diteliti oleh Indah, pupuk bokasi bisa didapatkan dalam waktu 6-9 hari.
Bahan pembuatannya pun hanya mengandalkan limbah ternak dan pertanian, seperti feses, jerami padi, daun-daun kering, tetes tebu (molasses) atau dapat diganti gula merah/aren, kapur tohor dan sekam gergaji. Dengan kita mau membuat kompos sendiri maka akan mengurangi ketergantungan pupuk kimia. Kita ketahui bersama bahwa pupuk kimia dalam waktu lama juga akan berbahaya bagi tanah karena semakin marecuni tanah. Tanaman yang seharusnya menjadi subur tidak sulit berkembang. Menurutnya doktor UMM tersebut, karena tanaman semakin sakit ketika ditambahkan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik sangatlah urgen sehingga memang seharusnya dipercepat demi struktur tanah dan kelangsungan hidup tanaman, yang pada ujungnya untuk kemaslahatan umat manusia.