Rabu, 24 Februari 2010

Apa Pentingnya Kewirausahaan?

Oleh : Achmad Prafitdhin
19/07/09

Pada tanggal 17-18 Juli 2009, saya mengikuti pelatihan kewirausahaan. Diklat tersebut diadakan oleh salah satu perusahaan rokok ternama di Jawa Tengah. Trainer yang merangkap sebagai motivator diambil dari Jakarta. Pelatih itu merupakan salah satu mantan presiden direktur perusahaan asuransi dan pemilik beberapa restoran di Jakarta.
Berbagai pertanyaan muncul saat diklat berlangsung berkenaan dengan kewirausahaan. Semua peserta antusias mengikuti kegiatan hingga selesai. Acara pun diakhiri oleh renungan semacam ESQ (Emotional Spiritual Quotient).
Hal menarik dalam kegiatan diklat tersebut yaitu ketika salah satu teman penulis mengutarakan statement akhir (saat perpisahan). Sebelum perpisahan itu memang diawali oleh kegiatan renungan. Maklumlah ketika renungan itu berlangsung, pemateri menginginkan semua kekecewaan dan rasa sakit hati dibuang jauh-jauh dari hati sanubari setiap peserta. Agar bisa ‘melesat’ lebih cepat untuk menjadi pengusaha. Semua itu mengakibatkan hampir seluruh peserta menangis dan berteriak histeris.
Dalam ungkapan teman tersebut, sebagai orang muda jangan asal bisa berteriak dan menagis di sini namun lupa ketika telah ke luar dari ruangan pelatihan. Semua peserta yang merupakan mahasiswa diharapkan mampu mengubah nasib bangsa melalui wirausaha. Dengan berubahnya nasib sendiri menjadi pengusaha, berarti membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran.
Memang, wirausahawan-wirausahawan baru sangat dibutuhkan di Indonesia. Dengan penduduk terbesar ke empat dunia (sekitar 240 juta jiwa) negara ini baru bisa menelorkan 0,18% wirausahawan. Sangat jauh dibandingkan Singapura yang mampu mencetak wirausahawan lebih dari 10%. Di tahun yang sama yaitu 2008. Sehingga pantas bila negara ini sulit bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi dunia.
Adakah kekeliruan dalam proses pendidikan pada masyarakat Indonesia sampai hal itu terjadi? Ataukah kenyataan tersebut diakibatkan oleh kultur masyarakat yang sejak dahulu menginginkan pekerjaan yang dianggap save (aman)?
Pendidikan yang terlalu otoriter dan diktator bisa menyebabkan rendahnya kepercayaan diri seseorang. Selain itu, berubahnya sistem pendidikan menjadi pengajaran. Akibatnya, orang tersebut sulit mencapai self actualization (aktualisasi diri) yang menyebabkan minder, rendah diri, dan selalu takut gagal. Dan, mengapa penulis berani menyebut pendidikan negeri ini masih otoriter dan diktator?
Sampai saat ini masih banyak para guru memakai pola pengajaran yang dilakukan mengacu pada diktat dan buku-buku yang bersifat normatif. Khususnya untuk melatih kepribadian dan jati diri murid. Guru mulai sekarang harus berani menciptakan keadaan yang lain. Mumpung masih belum terlalu terlambat. Silabus sangatlah penting sebagai acuan, tetapi tidak menyebabkan aturan tersebut menjadi kaku. Diktat-diktat yang masih banyak dipakai juga akan menyebabkan seorang guru terkadang menjadi diktator (orang yang selalu terpaku pada diktat).
Kultur masyarakat yang lebih suka menjadi seorang pegawai dari pada menjadi wirausahawan perlu mendapat perhatian serius untuk mengubah mind set (pola pikir). Mungkin peran sekolah untuk mendidik kewirausahaan bisa menjadi solusi untuk mengurangi pengangguran dan kesenjangan sosial. Selain itu agar kultur masyarakat Indonesia berubah dari pola job seeker (pencari kerja) menjadi job creator (pencipta lapangan kerja).
Generasi muda harus mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Wirausaha sangat penting untuk memupuk mental pemberani. Berani kalah dan berani menang. Melalui mental tak kenal putus asa kaum muda, bangsa ini akan mampu mementiskan keadaan ekonomi yang lebih baik. Sehingga tidak ada lagi pengangguran dan kesenjangan sosial yang menyebabkan kecemburuan-kecemburuan baru di masyarakat. Masihkah masyarakat ragu dengan kewirausahaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar