Minggu, 28 Februari 2010

“Bersekolah” Bukan untuk Lulus Unas

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
15/06/2009

Judul di atas kelihatan sangat ekstrim dan bertentangan dengan keadaan saat ini. Ketika Ujian Nasional (Unas) menjadi berita hangat (hot news) di berbagai media masa. Penulis justru kelihatan menggembosi adanya Unas, namun tidak demikian pastinya. Saya justru iba terhadap prosesi Unas yang setiap tahun tidak pernah luput dari kecurangan.
Adanya kecurangan-kecurangan dalam ujian negara tersebut manandakan bahwa sebagian siswa dan guru bangsa ini belum siap – gagal lulus ujian – menerima kenyataan pahit, sehingga harus dilakukan Unas ulangan. Maka kiranya dapat di ambil hikmah dari kejadian tersebut. Sebab, pandai-pandai orang yaitu yang mampu mengambil hikmah dari suatu kenyataan hidup. Penulis sengaja menulis hal tersebut untuk “menggugah” generasi muda bangsa Indonesia agar tetap tabah dan tidak gegabah dalam menyikapi semua hal termasuk Unas.
Moment tahunan Unas selalu menyita banyak tenaga, pikiran, dan waktu yang berujung pada kesenangan dan kesedihan. Kesenangan menghampiri siswa lulus, sedangkan kesedihan menyelimuti hati siswa gagal lulus. Demikian terlihat ketika pengumuman hasil kelulusan di Kota Malang (13/6). Dari total murid yang mengikuti Unas, sebanyak 800 siswa dinyatakan gagal. Sedangakan di Jawa Timur sendiri total siswa tidak lulus mencapai 15.089 siswa tidak lulu (Surya-Online)
Semua siswa secara emosional akan mengalami gunjang-ganjing. Terlebih saat diumumkannya hasil Unas. Rasa berdebar-debar bercampur bingung akan selalu menyelimuti diri setiap murid. Penulis pun pernah mengalami hal yang sama saat menunggu hasil Unas.

Unas, Setitik Noda Kehidupan
Banyak siswa stres dan depresi berat akibat gagal Unas. Bahkan penulis pernah mendengar kasus murid yang gantung diri karena stres menghadapi ujian tersebut. Bukan itu tujuan dari suatu pendidikan di sekolah. Pendidikan tidak pernah membuat siswa menjadi kecewa karenanya. Unas pun tidak membentuk manusia bingung dan mudah putus asa, melainkan membentuk manusia yang kuat dan tangguh menghadapi semua cobaan hidup.
Yang menjadi pertanyaan di sini adalah seberapa besar efek Unas terhadap kehidupan para siswa?
Sedikit bercerita tentang kehidupan salah seorang kerabat penulis. Saat hasil Unas dibagikan, dia diam saja karena hasilnya memberitahukan bahwa tidak lulus. Ada beberapa opsi yang diajukan orang tua kepadanya. Pertama, mengulangi Unas tahun depan, yang berarti harus mengulangi untuk bersekolah kembali. Kedua, mengikuti kejar paket yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas). Ketiga, keluar dari sekolah dengan tidak memiliki ijasah karena tidak lulus Unas.
Ternyata dia memilih opsi ketiga yaitu keluar dari sekolah tanpa ijasah. Setelah sekian lama, dia baru sadar bahwa mengulangi bersekolah jauh lebih baik ketimbang lari meninggalkannya. Penyesalan tidaklah berguna. Penyesalan tidak pernah datang di awal waktu, ia selalu datang setelah semuanya berlalu.
Sekolah adalah proses menuntut ilmu. Sehingga kegiatan sekolah sebenarnya tidak berakhir sampai Unas saja, namun hal itu merupakan awal dari mendapatkan pendidikan baru dalam jenjang lebih tinggi. Dalam pendidikan berikutnya tuntutan jauh lebih sulit. Tanggungjawab dan disiplin menjadi sangat penting. Banyak siswa tidak betah karena di tingkat pendidikan tersebut lebih “memakan otak” ketimbang Unas.
Kegiatan sekolah berawal dan berakhir dalam sebuah proses. Proses yang terus menerus dan berkelanjutan untuk mendapatkan segudang ilmu. Buat apa kalau hanya lulus Unas tetapi tidak tahu sama sekali lautan ilmu. Lautan ilmu tidak memiliki pantai. Siapa pun yang mengarungi tidak akan bertemu dengan daratan atau pantainya. Hanya Tuhan yang tahu daratan ilmu.
Ujian yang seharusnya kerjakan sendiri oleh murid malah dikerjakan gurunya. Dengan dalih sekolah takut kalau banyak murid tidak lulus. Tujuan bersekolah bukanlah lulus dalam Unas, melainkan lulus dalam setiap evaluasi dan “sekolah” hidup.
Unas hanyalah setitik noda perjalanan kehidupan. Hidup akan lebih indah ketika banyak noda dan bermacam warna. Kehidupan harus tetap berjalan meskipun ada ataupun tiadanya Unas. Kelulusan Unas adalah kesenangan sesaat. Baju seragam di semprot cat, ditulisi, dan ditandatangani. Semua siswa yang lulus bersuka cita. Bagaimana yang tidak lulus? Siswa gagal merasa dunia amatlah sesak dan dimanapun terasa tidak enak.
Dibalik kesenangan dan kesedihan siswa lulus ataupun tidak, masih ada sebagian masyarakat yang menangis karena tidak mendapatkan pendidikan. Masyarakat miskin yang tidak kebagian pendidikan selalu bersedih, baik ada Unas maupun tidak. Namun banyak diantara mereka lulus dalam “sekolah” hidup.

“Sekolah” Hidup
Daratan amatlah luas: gurun pasir, hutan-hutan, dan pulau-pulau membentang dari ujung barat dunia hingga timur. Luasnya daratan lebih luas lautan. Itulah gambaran samudera kehidupan yang harus di seberangi.
Kegagalan atau kelulusan Unas harus menjadi cambukan semua siswa. Mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tidak lulus bukan berarti akhir dari perjalanan hidup. Pepatah bijak mengatakan “kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda”. Tanpa adanya sebuah kegagalan tidaklah manis hidup terasa.
“Bersekolah” tidak hanya di bangku sekolah, melainkan di “bangku-bangku” milik para “guru”. Sekolah adalah tempat mencari bekal dalam mengarungi kehidupan. Semakin banyak bekal, semakin kuat pula tenaga kita untuk menempuh perjalanan jauh.
Guru harus bertindak tegas dalam “menahkodai kapal” yang melaju. Arah kapal harus disesuaikan dengan “hembusan angin”. Apabila angin bertiup dari barat ke timur, guru harus mempertimbangkan, mengikuti arah angin atau melawan. Semuanya memiliki resiko masing-masing.
Ujian nasional bagaikan angin bertiup kencang yang bisa “menenggelamkan kapal.” Nahkoda dan awak kapal lain harus sigap dalam menurunkan layar agar perahu tidak mengalami keterpurukan. Nahkoda pun tidak boleh mengambil jalan pintas dengan memotong tali layar. Pemotongan tali layar akan berakibat buruk dalam pelayaran selanjutnya.
Para guru tidak boleh memberi kunci jawaban kepada anak didiknya ketika kegiatan Unas berlangsung. Pemberian kunci jawaban sama halnya melakukan pemotongan tali layar pada kapal. Memperbaiki keadaan di sekolah jauh lebih sulit dari pada menghancurkan. Membantu mengerjakan soal Unas berarti menghancurkan reputasi guru dan sekolah bersangkutan.
Soal yang dikerjakan dalam ‘Unas hidup’ jauh lebih sulit ketimbang Unas yang dilakukan pemerintah saai ini. Semua mata pelajaran harus dipraktekkan langsung. Teori kadang tidak berlaku pada Unas hidup. Ujian tidak didahului mengerjakan soal mudah. Semua soal menjadi terlalu sulit manakala tidak ada bekal pada kehidupan sekolah sesungguhnya.
Sekolah adalah waktu yang paling menyenangkan: bercanda, tertawa, dan penuh gembira. Suatu pelajaran di sekolah bisa tidak berguna sama sekali saat di masyarakat. Perhitungan matematika yang diajarkan tidak ada artinya ketika membantu anggota masyarakat yang terkena musibah.
Sebagai “siswa” kita pun dituntut untuk berprestasi. Prestasi sebenar-benarnya adalah pengabdian sesungguhnya kepada bangsa dan negara. Tempat itulah “sekolah” hidup yang sesunggungnya*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar