Minggu, 18 Oktober 2009

Guru dan “Kekerasan” di Sekolah

Oleh: Achmad Prafitdhin*)

Seorang guru bisa saja ‘diam’ saat melihat muridnya berkelahi, mencuri, dan berkata-kata kotor. Namun, pendidik dituntut memberikan suatu pengajaran mulia kepada para anak didik. Di sinilah kapabilitas guru diuji.

SEKOLAH merupakan rumah kedua bagi murid. Kepribadian, kebiasaan, dan pemikiran murid digembleng. Bagaikan pandai besi, “empu” harus mampu menghasilkan sebuah “keris” yang beryoni, berkarakter, bernilai seni tinggi. Karakter dan kekuatan yang dihasilkannya tidak terwujud dari satu dua hari penyepuhan.
Perlu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk menghasilkan “keris” berkekuatan super. Murid, penulis ibaratkan sebagai “keris”, dan guru adalah “empu”. Penulis belum pernah menjumpai seorang siswa yang tiba-tiba berubah kepribadian dan karakternya 100 persen dalam masa pengajaran satu hari.
Ada guru yang mendidik dengan bentakan, tugas-tugas yang melelahkan, dan evaluasi secara terus menerus setiap pertemuan. Pepatah bilang “banyak jalan menuju Roma”, banyak cara menghasilkan murid yang bermanfaat bagi masyarakat di masa datang.
Tapi, ironis, ada guru menggembleng anak didiknya dengan kekerasan. Bila tidak bisa mengerjakan tugas, murid dihukum, bahkan ada yang ditampar.
Guru bisa saja dilaporkan kepada polisi karena “menganiaya” siswanya. Tetapi mana ada guru yang melaporkan muridnya karena telah berani berbuat tidak sopan. Tentu saja tidak ada. Bagaimanapun peran guru adalah sebagai pelindung, perisai, dan contoh para murid baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Sebagai pendidik, guru sangat terpojokkan.
Penulis sangat iba kepada guru-guru yang disia-sia dan dilecehkan martabatnya. Masyarakat tidak akan cerdas tanpa peran serta guru. “Pahlawan tanpa tanda jasa” sepertinya memang pantas tersemat pada diri semua guru di dunia ini. Kita tidak mungkin bisa menulis, membaca, dan bertutur kata baik dan sopan jika tidak dibimbing guru.
Seorang guru bisa saja ‘diam’ saat melihat muridnya berkelahi, mencuri, dan berkata-kata kotor. Namun, pendidik dituntut memberikan suatu pengajaran mulia kepada para anak didik. Di sinilah kapabilitas guru diuji. Jika murid bertindak tidak sopan di masyarakat, pasti yang pertama digunjing dan disalahkan adalah guru. Setelah itu baru orangtua.
“Kekerasan” para guru kepada murid tidak lain demi murid itu sendiri. “Kekerasan” yang penulis maksud di sini bukan kekerasan fisik maupun mental. Namun kedisiplinan tinggi sehingga menghasilkan “keris” tanpa cacat dan “berdaya jual tinggi” di pasaran.
Pengorbanan seorang guru tidak sia-sia saat melihat muridnya sukses. Mereka bangga jika anak didiknya menjadi bupati, menteri, dan bahkan presiden. Tetapi sangat menyayat muka dan mengiris hati ketika melihat siswanya dulu, kini terjerat kasus korupsi.
Tidak ada pun seorang guru yang bermaksud malakukan kekerasan. Capek, stres, dan gangguan kesehatan yang dialami guru memungkinkan hal tersebut terjadi. Apa daya, “setitik nila rusak susu sebelanga”. Satu orang guru yang melakukan tindak kekerasan, lainnya terkena imbasnya.

*) Tulisan ini telah di terbitkan oleh harian Surya pada tanggal 20 Juni 2009