Senin, 22 Maret 2010

NKRI dan Penyakit Senjanya

Oleh : Achmad Prafitdhin
14/08/09

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menginjak usia 64 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Agustus , Indonesia menjadi negara yang makin “tua”. Di usia senjanya, “tubuh” semakin rentan oleh gerogotan “penyakit”. Baik penyakit dari dalam oleh rapuhnya ‘sel-sel tubuh’ maupun dari luar yang berupa invasi “virus dan cuaca ekstrem”. Namun, diumur yang tua ini, telah semestinya pengalaman selalu menyertai perjalanan hidup. Banyak “suka dan duka” telah menghampiri. Penyakit pun akan lebih mudah terdeteksi dan teratasi.

Sel ibarat individu masyarakat, sedangkan tubuh bagaikan NKRI. Individu masyarakat merupakan sel terkecil penyusun negara. Hakekatnya, sel dan organ/gabungan sel-sel adalah pelaku “metabolisme”. Energi tercipta dari perombakan-perombakan pada tingkatan tersebut. Apabila salah satu sel tidak mampu bekerja dengan baik maka metabolisme akan terganggu. Apalagi kalau salah satu sel melakukan “bunuh diri” maka sama halnya membunuh tubuh secara keseluruhan.

Seperti halnya manusia, NKRI juga mengalami peralihan masa. Masa lahir pada Proklamasi 17 Agustus 1945, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Namun, kita tidak akan rela bangsa dan negara ini mengalami masa kematian. Segenap daya dan upaya dikerahkan untuk mengobati penyakit yang kian membabi buta.

Banyak ancaman penyakit yang ketika masih dalam usia “muda” dianggap biasa dan mudah “dibasmi”. Tetapi ternyata, diumur senjanya berubah menjadi “sel kanker komplek”. Mengganas dan meradang di dalam maupun di permukaan tubuh. Terorisme, ancaman disintegrasi, kemiskinan, degradasi moral dan budaya bangsa. Kesemuanya adalah ancaman penyakit yang harus dibasmi oleh “dokter mumpuni”. Mereka adalah para guru.

Para guru selayaknya konsisten dengan apa yang menjadi tugasnya. Tugas utama mereka sesuai dengan tujuan nasional negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Seiring kecerdasan dan kemapanan ilmu masyarakat, maka penyakit pun bisa dicegah dan diatasi. Pengetahuan dalam mengonsumsi “suplemen” penambah tenaga semakin digalakkan. Dari segi psikologi dan kejiwaan, sugesti-sugesti untuk berfikir dan bertindak lebih positif ditransferkan. Oleh sebab itu, kesehatan prima akan menolak datangnya sel kanker komplek tersebut.

Ceremoni kemerdekaan bukan ajang hura-hura, melainkan adalah wahana untuk mawas diri dan berbenah diri. Agar “kesehatan” selalu terjaga. Sebab, mempertahankan kesehatan tubuh jauh lebih penting dari pada mengupayakan “mencari pekerjaan baru”.

Karnaval dan perayaan kemeriahan hari kemerdekaan lainnya memang pantas dilakukan. Selalu ingat hari kemerdekaan akan mengingatkan pada perjuangan para pahlawan. “Perjuangan sel” terdahulu dalam memerangi penyakit yang mencoba menghinggapi tubuhnya.

Ketika energi cinta, perasaan, kesenangan, kebahagiaan dan suka cita menyatu oleh buaian hari kemerdekaan. Itulah waktu paling tepat untuk menghipnotis dan mendoktrin seluruh individu masyarakat untuk kembali menjunjung tinggi kecintaannya pada negara – nasionalisme. Melalui itu pun kejadian-kejadian buruk masa lalu direnungkan bersama. Instrospeksi diri pencegahan pada hal sama terulang untuk kedua kalinya.

Permusuhan sesama anak bangsa harus dihentikan. Hal itu akan menguras energi, waktu dan biaya besar. Energi akan terbuang percuma hanya untuk memusuhi teman dalam “tubuh sendiri”. Waktu pembangunan akan terhenti oleh kekacauan, permasalahan, ketidaksinkronan “sel dan organ”. Biaya besar akan dikeluarkan untuk mengobati bagian tubuh sakit tersebut.

Oleh sebab itu, gotong-royong dan integrasi antar sel dan organ dalam tubuh harus dilakukan. Tujuan akhirnya, mampu melindungi dan bahu membahu membentuk tubuh kuat, tangkas dan cerdas. Sehingga “tubuh” mampu berkesinambungan dalam mengangkat beban yang semakin lama kian berat. Penyakit pun menjauh dari tubuh, meski telah memasuki usia senja berkat harmonisnya kerja sel-sel. Jaya NKRI-ku, jaya Indonesia-ku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar