Senin, 22 Maret 2010

Belajar dari Anak Ayam

Oleh : Achmad Prafitdhin

Duduk di depan pintu dapur kos merupakan kebiasaan pagi saya. Sembari menunggu antrian mandi. Maklum kamar mandi kos saya cuma dua dan itupun dipakai oleh sembilan orang penghuni. Letaknya dekat dengan kandang ayam miliki tetangga.

Setelah kelelahan pada malam harinya karena mengerjakan banyak tugas kuliah yang menumpuk. Pagi itu rasanya berat untuk beranjak dari tempat duduk. Tak sadar saya melihat empat ekor anak ayam yang sedang mencari laron (rayap bersayap) dengan sangat antusias. Saya pun terhentak dan terbelalak sejenak. Pikiran saya melayang. Semangat hidup rasanya kembali pulih. Meskipun pagi nan dingin diiringi rintikan air hujan semakin membuat orang menjadi malas.

Semangat saya muncul berkat ‘kelakuan’ ayam yang penuh suka cita menyambut ‘kelahiran’ hari baru. Tanpa rasa malas sama sekali, pagi dingin itu mereka gunakan untuk berlarian kesana kemari mengejar laron yang terbang dan jatuh ke tanah. Empat ekor ayam itupun akhirnya kenyang karena temboloknya terisi laron dalam jumlah banyak.

Antusias binatang kecil tak berakal menjadi pelajaran tersendiri. Sambil berbicara rendah, seorang teman membentak saya dari belakang. Saya katakan kepadanya, kalau anak ayam saja, tanpa akal, tanpa induk/orang tua dan tanpa ilmu mampu menghadapi hidup dengan penuh optimis. Bagaimana kita manusia yang dikaruniai akal dan ilmu bahkan orang tua yang senantiasa membimbing setiap langkah menuju peraduan hidup. Tentunya kita harus lebih optimis dari anak ayam yang memang dari lahir sudah tidak mengenal induknya karena ditetaskan dalam mesin penetas.

Sebagai manusia terkadang kita lupa bahwa Tuhan senantiasa memberikan rejeki. Rejeki itu harus kita usahakan. Berjalan, berlari dan mengayuh sepeda patut dilakukan untuk mendapatkan semua itu. Rejeki bukan hanya untuk manusia. Bahkan binatang telah diberi rejaki oleh Tuhan sebagai Sunnatulloh. Namun, tak lepas dari perbuatan mengusahakannya. Bagaikan anak ayam tersebut, mereka berjalan dan berlari demi mendapatkan tujuan hidupnya, mendapatkan seekor demi seekor laron, hingga temboloknya penuh terisi.

Pelajaran hidup lain dari anak ayam tentang penguasaan harta. Pepatah Jawa mengatakan “enek awan enek pangan”. ( Ada siang ada makanan/rejeki). Bila ditelaah, kebijaksanaan seperti itu membuat kita lebih optimis menghadapi jengkal demi jengkal hidup ini. Manusia tidak perlu saling membunuh satu sama lainnya. Negara besar yang kuat tidak perlu menginvasi Negara kecil yang lemah. Hanya untuk berebut makan. Semua sudah digariskan Tuhan. Tinggal bagaimana kita mengusahakan demi kemaslahatan umat.

Jika saja salah satu anak ayam tersebut tidak terima karena kekecewaannya kepada anak ayam yang lain. Tentulah tembolok temannya akan dipatuk dan dikeluarkan seluruh isi laron yang telah dimakannya. Tetapi sepertinya mereka paham, kalau temboloknya telah penuh dengan laron, maka mereka pun tidak lagi makan. Sehingga membiarkan temannya yang lain untuk menyantap laron tersebut.

Apabila kita tidak menghiraukan ukuran “tembolok” yang kita miliki dan meneruskan untuk tetap makan. Sedangkan orang lain sama sekali belum makan. Maka bersiaplah untuk segera ‘dipatuk’ teman sendiri. Apalah artinya kalau “tembolok” yang kita miliki penuh tapi akhirnya ‘dikanibali’ teman sendiri yang pada akhirnya membuat kita mati. Memang lebih baik saling berbagi agar hidup lebih mempunyai arti. Sehingga orang lain pun ikut menikmati hidupnya dengan penuh optimis. Sebab mereka merasa bahwa “temboloknya” juga difikirkan orang lain. Selain itu, ada sebagian harta kita yang merupakan hak orang lain. Biarlah orang lain juga turut menikmati sebagian harta itu. Apakah gara-gara salah mencari kekayaan membuat kita dihujat orang orang? Untuk sepatutnya direnungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar