Senin, 22 Maret 2010

Guru dan Degradasi Moral

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Budaya sopan santun bangsa ini kian lama menghilang seiring perkembangan jaman globalisasi dan kapitalisasi. Hampir seluruh aktivitas didasarkan pada jumlah uang dan keuntungan yang diperoleh.

Di satu pihak sekolah menambah jam pengajaran kewirausahaan. Agar para murid bisa ‘mandiri dan menghasilkan banyak uang’ ketika mereka lulus. Alih-alih tidak memberatkan negara. Di lain pihak sekolah tidak pula menambah atau bahkan mengurangi pendidikan moral dan budi pekerti (agama dan pendidikan dengan basic moral lainnya). Akibatnya, banyak muncul wirausahawan baru, namun ‘menghalalkan segala cara’ untuk mendapatkan kekayaan. Seperti KKN untuk pengadaan proyek-proyek dan fasilitas umum.

Dahulu guru dijadikan panutan, digugu (dianut) dan ditiru (dicontoh). Kini tidak lagi demikian. Sekarang guru hanya dijadikan suatu penyampai informasi. Bukan lagi seorang pendidik tetapi seorang pengajar. Tidak lagi memberikan contoh ‘bekal budi’ tetapi mengajarkan ‘teori berbudi’.

Apabila dalam penyampaian ‘teori’ oleh guru, anak didik merasa tidak puas, maka mereka akan mencari sendiri informasi yang diinginkan. Efeknya, fungsi dan tanggung jawab guru sebagai filter tidak ada bahkan cenderung sia-sia. Tidak ada lagi saringan. Baik buruknya informasi akan diserap apa adanya.

Ilmu yang ditransferkan guru kepada murid akan diterima kurang lebih sebesar 40 persen. Namun, bagaimana jadinya jika tansfer tersebut berupa ilmu pemerkosaan? Ironis sekali saat ditayangkan di beberapa media televisi, ada ‘guru’ melakukan pemerkosaan terhadap muridnya sendiri. Adalagi ‘guru’ yang nyambi ngrampok. Atau, kasus terakhir adalah guru agama yang menyudutkan korek api kepada siswanya. Yang katanya, untuk memberikan pelajaran tentang akherat. Bagaimana dampak kepada murid yang lain? Bukankah itu juga merupakan sebuah “ilmu”?

Salah satu pihak ‘bertanggungjawab’ atas rusaknya etika, moral dan kepribadian bangsa adalah para guru dan sekolah. Sekolah memang mengawasi murid hanya enam sampai delapan jam setiap hari , tetapi ‘prinsip dasar kehidupan berada di pundak mereka’.

Bukan maksud penulis untuk memojokkan para guru dan sekolah. Tetapi kalau gurunya saja bertindak demikian apalagi muridnya. Wajar jika moral bangsa ini lambat laun mengalami degradasi/penurunan yang tidak menutup kemingkinan akan mengalami kehancuran.

Guru tidak lagi menjadi tumpuan murid dalam berkarya. Orientasi guru, kini adalah suatu pengakuan dari masyarakat akan gelar kesarjanaan atau jumlah gaji yang diterima. Penulis sadar bahwa tidak semua guru demikian. Banyak guru-guru yang masih memegang teguh sumpah dan janjinya untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.

Bangsa ini memerlukan guru-guru tangguh. Mereka diharapkan bisa mejadi penggerak ”mesin jenset moral.” Kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan segera pulih saat para guru memutar mesin. Mesin tidak akan hidup dalam satu kali putaran tetapi beberapa putaran hingga dirasa “jenset bisa berputar sendiri.”

Mesin dengan kapasitas daya 240 juta watt tidak akan ada artinya manakala terdapat sejumlah kabel yang putus. Daya tersebut setara dengan jumlah peduduk Indonesia saat ini. Murid laksana seutas kabel yang menentukan hidup atau matinya ‘lampu moral di masa selanjutnya’. Sekolah merupakan pembungkus kabel. ”Bagaimana sekolah mampu melindungi daya sebesar itu kalau memang hanya terbuat dari plastik bekas?” Sehingga sekolah seharusnya dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.

Cahaya moral segera menerangi seisi negeri saat ‘mesin’ dihidupkan. Kapankah mesin itu akan dinyalakan? Akankah dengan kucuran dana 20 persen dari pemerintah, ”kabel-kabel” itu akan mampu dan kuat menyangga beban daya sebesar itu? Ataukah masih tetap seperti sekarang ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar