Minggu, 21 Maret 2010

Hidup Hanya Untuk Berdebat

Oleh : Achmad Prafitdhin*)
28/07/09

Sebagai civitas akademika penulis tahu betul tentang masalah yang menyangkut perbedaan pendapat di kalangan para mahasiswa dan para dosen. Terkadang bahkan mahasiswa memberikan pertanyaan pada para dosennya dengan setengah memberikan tes. Apakah dia bisa menjawab suatu masalah “A” atau tidak. Apabila dia bisa menjawab berarti dianggap mampu dan bisa diikuti kuliah dan pernyataannya. Kalau tidak, terkadang mahasiswa enggan dan sering merasa bosan atas apa yang dijelaskannya selama masa perkuliahan.
Bahkan tak jarang mahasiswa seperti penulis berdebat dengan dosen pengajar. Jika stetmennya tidak bisa diterima bahkan cenderung bertolak belakang, perdebatan menjadi tidak terelakkan lagi. Tak jarang dosenpun juga mendebat mahasiswanya. Tetapi hal ini masih dianggap wajar. Karena dari segi keilmuan dosen sampai hari ini masih dianggap lebih pandai dari pada mahasiswa.
Tidak sampai di situ saja. Perdebatan terus berlanjut sampai pada ujian-ujian lisan, seminar penelitian, dan lain sebagainya. Latar belakang perdebatan umumnya adalah mempertahankan pendapat. Di kalangan mahasiswa terdapat prinsip lebih baik berbicara salah dari pada tidak berani mengungkapkan pendapatnya. Hal inilah yang terkadang sulit diluruskan. Karena mind set terlalu dalam telah menjerumuskan. Sehingga apabila terdapat hal-hal baru tanpa unsur ilmiah yang mereka tidak ketahui maka dikatakan omong kosong dan bualan.
Perdebatan tidak hanya melingkupi kalangan mahasiswa dengan pihak dosen saja. Seringkali debat juga menginfeksi mahasiswa dengan mahasiswa. Kejadian itu sangatlah tampak ketika terjadi Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). LPJ selama menjabat menjadi ketua dan anggota organisasi menjadi ajang perdebatan tanpa hasil. Merekapun sering mempersoalkan sejumlah uang yang dihabiskan selama masa jabatan. Sehingga mengabaikan inti dari LPJ itu sendiri yaitu menyampaikan kinerjanya selama menjabat dan apa yang perlu menjadi koreksi sehingga lebih baik lagi di masa mendatang. Karena biasanya sejumlah uang yang dihabiskan telah disetujui oleh Pembantu Dekan III.
Kebiasaan menyalahkan orang lain ternyata masih melekat di hampir sebagian besar mahasiswa. Solusi menjadi sulit ditemukan ketika perdebatan menggunakan emosi. Memang, emosi menjadi tak terelakkan ketika pendapat kita dimentahkan orang lain. Sehingga dalam perdebatan perlu menggunakan kepala dingin sehingga solusi akan cepat didapatkan.
Mengakui kebenaran pendapat dari satu pihak lawan pun masih sangat sulit dilakukan di kalangan mahasiswa. Dosen terkadang justru menjerumuskan. Mereka tak jarang yang hanya memberikan pertanyaan menjebak tanpa memberikan solusi pemecahan masalahnya. Hal itu menyebabkan sikap skeptis sempit muncul tak terelakkan pada dosen yang bersangkutan.
Sempat saya mengutarakan pernyataan saya di depan dosen dan mahasiswa yang sedang berdebat tanpa solusi dengan perkataan, “hidup kok hanya untuk berdebat, dan berdebat kok untuk hidup.” Artinya, hidup janganlah digunakan sebagai tempat berdebat saja dan janganlah mencari hidup/makan dari berdebat layaknya tim sukses kampanya presiden. Penulis memiliki paham arti mencari solusi jawaban tidak harus dengan berdebat. Malah berdebat seringkali menimbulkan masalah baru dan menjadikan orang lain marah akibat emosi tak terkendalinya.
Pada akhirnya janganlah berdebat hanya untuk mempertahankan pendapat kita yang belum tentu benar adanya. Carilah solusi terbaik untuk menyelesaikan perbedaan, meskipun perbedaan tidak mungkin bisa dihindarkan. Hidup layaknya untuk saling mengisi, tanpa harus menciderai dan menyakiti. Sehingga janganlah hidup hanya untuk berdebat yang tidak ada pangkalnya. Ingat, bukan hanya berdebat, tetapi masih banyak lagi yang harus dikerjakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar