Senin, 21 Desember 2009

Bukan Susu Kedelai

Oleh : Achmad Prafitdhin*)

Susu kedelai, susu kedelai! Pedangangnya menjajakkan barang dagangan sambil membawa kotak yang terbuat dari steriofoam. Cara membungkus yang menarik, mendorong pembeli berdatangan. Itulah salah satu kejadian yang tampak beberapa waktu lalu di Pasar Minggu depan Stadion Gajayana Malang.
Warna menarik membuat anak kecil menyukai, hijau, krem dan cokelat. Sangat mirip dengan susu sapi.
Rasa kenyang segera menghampiri setelah penulis menghabiskan satu bungkus plastik ukuran seperempat kilogram. Penyajiannya pun hangat-hangat, membuat badan terasa berkeringat. Kental, manis, dan gurih terasa sangat enak di lidah. Siapa tahu barang mirip jus dengan rasa yang hampir sama dengan susu itu sama sekali bukan susu. Itu hanyalah kedelai yang direbus sebentar lalu ditambahkan flavour, gula, dan sedikit garam selanjutnya diblender.
Banyak orang salah kaprah dalam menyebut sari kedelai. Kata orang, kedelai yang diolah mirip susu itu namanya adalah susu kedelai. Sebenarnya nama yang pas adalah sari kedelai. Karena, memang bukan susu tetapi sari kedelai.
Sebagai mahasiswa peternakan penulis sangat kecewa saat banyak orang menyebut sari kedelai dengan sebutan susu kedelai. Namun, sangat wajar karena mereka belum mengetahui dan mungkin belum ada pihak yang memberi tahu akan hal itu.
Susu adalah cairan yang dikeluarkan sel-sel sekretori (penghasil air susu) pada payudara (manusia) atau ambing (binatang). Oleh karena bahan cair yang dihasilkan itu berwarna putih susu maka diberilah nama susu. Cairan putih agak kekuningan itu diubah dari sari makanan dalam darah dengan bantuan hormon penghasil susu. Prolaktin dan oksitosin merupakan dua hormon peubahnya sehingga susu dikeluarkan.
Pemahaman yang minim mengenai susu membuat banyak orang sering tertipu. Beberapa waktu lalu mucul kasus susu bermelamin. Protein tinggi yang dihasilkan oleh produk tersebut sebenarnya tidak ada. Rekayasa penambahan melamin pada susu membuat protein “tampak” tinggi.
Kejadian protein palsu melamin membuat sebagian orang yang mempunyai bayi perlu khawatir. Pelarian mereka tertuju pada sari kedelai. Bahkan di apotek-apotek banyak tersedia bubuk sari kedelai sebagai pengganti susu sapi. Sebenarnya barang mirip tepung itu dipersiapkan bagi penderita alergi laktosa pada susu sapi. Meski harganya jauh lebih mahal dibandingkan susu sapi banyak orang yang membeli bubuk sari kedelai.
Menurut penelitian, sari kedelai mempunyai protein efficiency ratio (PER) 2,3 sedangkan susu sapi memiliki PER 2,5. PER 2,5 artinya setiap gram yagn dimakan menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 2,5 gram. PER mencerminkan mutu protein tersebut.
Dengan protein sebesar itu sari kedelai mampu dijadikan substitusi bagi susu sapi. Toh, pada intinya seluruh masyarakat tercukupi akan zat gizi - protein. Tidak ada yang dirugikan dan diuntungkan. Semua memiliki konsumen sendiri-sendiri. Pedagang sari kedelai maupun pedagang susu sapi. Tetapi dengan penyebutan yang salah akan menimbulkan masalah.
Setelah membaca tulisan ini, setidaknya masyarakat menjadi tahu pembedaan sari kedelai dan susu. Oleh sebab itu, tidak terjadi lagi kesalahan yang menyebut sari kedelai dengan sebutan susu kedelai.
Penulis tidak bermaksud menjustifikasi bahwa mereka salah besar. Mungkin karena ketidaktahuannya orang-orang tersebut maka salah. Tetapi jika telah mengetahui namun tidak mengubah, berarti memang manusia “bodoh.” Ada sebuah peribahasa “bernama keledai jika masih terperosok pada lubang yang sama.” Kebodohan jangan dibiarkan, berusaha mengerti jauh lebih baik dari pada membiarkannya, setidaknya agar tidak dianggap seperti keledai.

*) Mahasiswa Jurusan Peternakan
Fakultas Agrokompleks
Universitas Muhammadiyah Malang

Artikel ini telah diterbitkan koran Surya edisi tanggal 21 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar