Minggu, 06 Desember 2009

Belajar dari Semut

Oleh: Achmad Prafitdhin*)

SAAT duduk di dapur rumah kos, saya mendengar lagu Chrisye diputar di sebuah radio swasta, …”ada semut merah, yang berbaris di dinding”… Pikiran saya langsung tertuju pada tembok sebelah kiri tempat duduk. Biasanya di pojok dapur itulah banyak semut. Entah karena saking kotornya atau karena apa.

Semut merupakan hewan kecil yang sangat pintar bermasyarakat. Mereka berkelompok dan saling membantu. Kehidupan masyarakat yang diciptakan tampak harmonis. Binatang kecil itu seakan tahu apa yang harus dan seharusnya dikerjakan. Mencari makan dan ’sikapnya’ kepada penguasanya.
Binatang yang dianggap jorok itu sangat rukun dalam kawanannya. Saya bahkan belum pernah melihat sekawanan semut saling berkelahi demi berebut makanan. Mereka gotong royong untuk mendapatkannya. ‘Berjabat tangan’ ketika berpapasan dengan semut lain adalah ciri khas semut.

Meskipun hidup di tempat kotor, semut tidak mau mencari pakan ‘kotor’ pula. Kerajaan semut pun terstrata dengan baik; ratu, panglima, dan pekerja. Kelas sosialnya tidak mengakibatkan jurang pemisah dan kesenjangan sosial. Semua telah menyadari tanggung jawab sosialnya.

Ketika nasib kita telah ditentukan Tuhan sebagai seorang pekerja, tidaklah patut kiranya ‘menuntut’ menjadi seorang menteri (panglima) atau bahkan presiden (raja). Terlebih melalui cara buruk atau politik uang demi kekuasaan. Tetapi saat presiden telah ditunjuk untuk mengayomi, janganlah sekawanan ’semut pekerja’ mengacaukan.

Kalau semut mampu melakukan pekerjaan dengan sangat ‘cantik’ tanpa banyak menuntut. Maka sebagaimana semu, calon presiden sekarang legawa. Belajar dari kerajaan semut untuk tidak ‘berbuat onar’ ketika tidak dipilih menjadi ‘raja.’ Semua
orang mulai sekarang harus terbiasa pada apa yang telah menjadi garisnya agar semua sesuai ‘harmoni kehidupan.’

*) Mahasiswa Peternakan

Fakultas Agrokompleks Universitas Muhammadiyah Malang


Artikel ini telah dimuat harian Surya, 23 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar