Minggu, 13 September 2009

Sekolah dan Budaya Berkendara*

Oleh : Achmad Prafitdhin¹

Semua orang harus memedulikan hal kecil sebelum memikirkan sesuatu yang lebih besar. Budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat lahir dari suatu kebiasaan kecil lalu menjadi sebuah budaya labih besar atau disebut karakter.

MENINGKATNYA jumlah kendaraan bermotor tidak dibarengi budaya berkendara yang baik. Hal ini berakibat terjadinya berbagai macam kecelakaan di jalan raya. Penerobosan traffic light oleh sebagian orang berakibat fatal bagi pengguna jalan lain. Beberapa waktu lalu di salah satu jalan raya di Kabupaten Blitar, sepeda motor lebih mendominasi penerobosan lampu merah.

Budaya buruk berkendara, menurut hemat penulis, sudah lama terjadi. LLAJ dan Kepolisian sudah “kecapekan” menertibkan. Jumlah personel yang terbatas mengakibatkan sulit terdeteksinya angka penyimpangan lalu lintas. Barangkali, sekolah perlu membantu. Melalui sekolah dapat ditanamkan jiwa berbudaya yang baik dalam berkendara di jalan raya.

Memang, dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) ada beberapa tes yang berkaitan dengan huruf dan gambar. Hal itu mewajibkan pencari SIM harus bisa membaca dan menulis. Kesabaran menjadi salah satu yang seharusnya mengilhami para pengendara untuk tetap mementingkan keselamatan orang lain di atas segala-galanya.
Mungkin saja, salah satu pemakai jalan telah tertib, tapi karena kecerobohan pengguna lain, pemakai jalan itu mengalami kecelakaan. Penerobosan traffic light termasuk salah satu hal yang tidak mengutamakan keselamatan orang lain dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

Semua orang harus memedulikan hal kecil sebelum memikirkan sesuatu yang lebih besar. Budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat lahir dari suatu kebiasaan kecil lalu menjadi sebuah budaya labih besar atau disebut karakter. Atau dengan kata lain karakter akan melahirkan satu kebudayaan baru bagi satu masyarakat dan masyarakat lain yang
ada di sekelilingnya.

Satu budaya bangsa Indonesia telah lahir dengan berbagai tumor yang mulai membesar dan meradang di hampir seluruh tubuhnya, budaya penyimpangan lalu lintas. Jika budaya seperti itu tetap dibiarkan dan tidak dilakukan operasi untuk mengangkat tumor di seluruh bagian tubuhnya, maka akan mengakibatkan copotnya baju dari tubuh oleh tekanan dari dalam yang semakin tidak terkendali.

Memang saya yakin tidak bisa mengangkat seluruh penyakit tersebutnamun setidaknya
mengurangi rasa sakit yang ditimbulkannya. Sudah saatnya bangsa yang terkenal santun, sabar, dan berbudaya luhur harus segera melakukan ‘operasi’ di seluruh tubuh. Bantuan para ‘dokter ahli’ akan mengatasi aneka penyakit bangsa ini.

Peran dokter budaya yaitu para guru pendidik di sekolah sangat dibutuhkan. Guru harus mengajarkan kepada peserta didik untuk menciptakan budaya yang baik bukan hanya budaya berkendara di jalan raya. Ada pepatah bilang “guru kencing berdiri murid kencing berlari.” Budaya yang diajarkan oleh guru akan didikuti anak didiknya lebih dari 100 persen.

¹ Mahasiswa Jurusan Peternakan
Universitas Muhammadiyah Malang

* Artikel ini telah dimuat harian Surya pada Sabtu, 23 Mei 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar