Minggu, 13 September 2009

Balita hingga Tua Renta*

Oleh Achmad Prafitdhin¹

BALITA merupakan masa-masa paling menggemaskan. Waktu itulah otak manusia diisi oleh berbagai hal. Pada moment tersebut, anak manusia hanya diberi tahu sedikit kata dasar : ayah, ibu, kakek, dan nenek. Komunikasipun lebih dilakukan satu arah. Layaknya

selembar kertas putih masa balita dapat ‘dicoreti’ dan ‘digambari’ tentang kehidupan. Orangtua akan membentuk karakter anak. Merekalah yang akan “mengukir” dengan “pahatnya” sendiri.
Menginjak masa kanak-kanak, mulai muncul rasa ingin tahu. Anak manusia bisa saja bunuh diri karena rasa ingin tahunya tentang kematian. Penulis pernah mendengar kisah salah seorang anak kecil yang bunuh diri karena keingintahuannya pada kematian. Orang tua tidak bisa memberi penjelasan mengenai hal tersebut. Sebab, “pahat” yang dimiliki
orang tuannya hanya sebatas itu, anak pun mati sia-sia.

Baik buruknya perilaku anak boleh jadi karena “coretan” yang salah oleh orangtua. Disinilah peran orang tua benar-benar diuji. Bagaimana mereka mengukir kebiasaan putra putrinya. Kehidupan remajapun datang menggantikan masa kanak-kanak, banyak hal yang dulunya hanya ingin tahu kini mulai ingin mencoba. Mencoba sesuatu
yang belum pernah dicobanya diwaktu balita dan kanak-kanak.
Hari berganti, umur terus bertambah, dewasa segera menghampiri. Rasa penasaran dan keingintahuan digantikan sok tahu. Manusia menjadi “seperti” tahu semua hal. Namun, sebenarnya dia hanya mengetahui “tepian samudera” hidup. Menginjak umur 40 tahun, anak manusia yang ketika masih kecil diberi tahu sesuatu, kini mulai memberikan pengetahuan yang diperolehnya. Murid, anak, dan tetangga, semua diberi tahu. Masa itu penulis sebut sebagai self actualization.

Sebenarnya semua siklus kehidupan adalah mencari tahu dan memberi tahu beberapa hal. Pengetahuan hidup adalah layaknya “DAS (Daerah Aliran Sungai).” Mengalirkan air ke mana dan dari mana pun asalnya. Pengetahuan tidaklah mungkin disimpan sampai mati “di lubang kepiting.” Semua hal yang menyangkut pengetahuan kita sebenarnya “bukan milik kita,” melainkan titipan Tuhan untuk generasi mendatang.

Siklus kehidupan pada semua orang tidak jauh berbeda. Lahir, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan mati. Mulailah dari lahir hingga tutup usia, teruslah berkarya dan bercita-cita tanpa kenal putus asa. Pengetahuan tidak hanya ada di bangku sekolah. Kita harus buka mata, telinga, otak, dan hati untuk mendapatkannya. Semua telah ada di sekeliling manusia.

¹Mahasiswa Jurusan Peternakan
Universitas Muhammadyah Malang

* Artikel ini telah dimuat pada harian Surya pada Rabu, 10 Juni 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar